Kamis, 26 September 2019

Merasa Banyak Dosa Atau Banyak Amal?

Seorang santri bertanya tentang ungkapan perasaan seorang hamba yang merasa banyak dosa. Hamba tersebut mengharapkan surga, akan tetapi dia merasa tidak pantas untuk mendapatkannya. Dia merasa dirinya lebih pantas di neraka, akan tetapi dia sangat tidak menginginkannya. Lalu, tambah santri tadi, hamba yang seperti itu termasuk contoh orang seperti apa?

Saudaraku, merasa banyak dosa itu sesungguhnya jauh lebih baik dibanding merasa banyak amal. Orang yang merasa banyak amal biasanya akan sombong. Lain halnya dengan orang yang merasa banyak dosa, dia akan memperbanyak tobat.

Namun demikian, penting untuk diingat, kalau kita mersa banyak dosa itu bukan berarti kita harus mengumumkan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Pernah begini, pernah begitu, sudah melakukan ini, sudah melakukan itu, dan lainnya. Jangan! Maksudnya bukan seperti itu, bukan membuka aib diri. Nanti, kita bisa jadi kufur nikmat karena selama ini Alloh Ta'ala telah menutupi dosa dan aib kita. Tobat kita hanya kepada-Nya.

Ketika Alloh Ta'ala menyukai seorang hamba, hati hamba itu akan dibukakan oleh Alloh untuk melihat dosanya yang besar. Dia seolah-olah melihat gunung yang akan jatuh menimpanya. Dia merasa sangat terancam dengan dosanya sehingga dia sangat sedih dan banyak bertobat.

Dia pun menjadi sangat sulit untuk sombong. Dia terus berharap ampunan dan rahmat Alloh Ta'ala. Namun, terhadap orang lain, Alloh justru membukakan hati mereka untuk melihat kemuliaan amalnya. Aib dan dosanya ditutup oleh Alloh Ta'ala. Orang semacam inilah yang termasuk orang beruntung.

Berbeda dengan orang celaka, dia tidak mampu melihat atau menyadari dosanya sendiri. Dia merasa suci, mulia, dan calon ahli surga. Dia merasa saleh sendiri. Padahal, terhadap orang lain, Alloh Ta'ala membukakan hati mereka untuk melihat aib dan kekurangannya. Orang semacam ini melihat dosanya bagaikan melihat lalat yang dianggap remeh. Dia cenderung ujub dan takabur pada amalnya. Inilah bahaya terbesar dalam hidup. Dia tidak sadar kalau hidup penuh dengan dosa.

Adakah di antara saudara yang membaca tulisan ini yang merasa tidak memiliki dosa atau merasa dosanya baru sedikit? Marilah kita bertobat. Persoalan terbesar dalam hidup ini adalah ketika memiliki banyak dosa, tetapi tidak merasa terancam dan tidak pula sanggup bertobat.

"Wahai Tuhanku! aku bukanlah orang yang pantas masuk surga, tetapi aku juga tidak mampu menahan panasnya api neraka. Maka terimalah tobatku, dan ampunilah dosa-dosaku. Karena hanya Engkau-lah yang dapat memberi maaf atas dosa-dosa yang besar."

"Dosaku bagaikan bilangan pasir, terimalah tobatku wahai Tuhanku yang memiliki keagungan. Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya."

"wahai Tuhanku, hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui seluruh dosa, dan telah memohon kepada-Mu. Seandainya engkau mengampuni, memang Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau Menolak, kepada siapa lagi aku berharap selain kepada-Mu?" (Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami)

Sumber: 

Buku Ikhtiar Meraih Ridha Alloh Jilid 1 karangan Abdullah Gymnastiar.

Senin, 23 September 2019

Sebetulnya Kesulitan itu Lebih Aman

Sangat wajar apabila orang bergembira dengan jabatan tinggi yang didudukinya, uang bayak yang dikantonginya, atau aneka kesuksesan hidup yang mengiringinya. Namun, berhati-hatilah saudaraku apabila kita tengah memiliki itu semua. Sebab, yang namanya kesenangan itu lebih bahaya daripada kesulitan.

Mengapa? 
Di dalam kesenangan, nafsu biasanya akan lebih bebas beraksi. Saat memiliki banyak uang misalnya, kita lebih leluasa untuk membeli apa saja yang kita inginkan. Sesuatu yang tidak penting dan tidak bermanfaat pun dibeli dan dipamerkan. Kita baru ingat kalau barang yang sudah di beli itu tidak bermanfaat ketika sedang kesulitan uang atau saat melihat iklan jual beli barang bekas.

Begitu pula dengan gelar, jabatan, atau kedudukan, dia bisa menjadi ujian yang melenakan. Saat sedang menjabat kita merasa penting dan mulia sehingga bisa dengan seenaknya memerintah dan memarahi orang lain. Nafsu kita merajalela di sana. Namun, ketika jabatan itu lepas, nafsu kita akan diam tidak berkutik. Andaipun setelah tidak menjabat kita masih suka mengatur dan merasa penting, kita harus segera sadar.
"Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir." (QS. al-Ma'arij [70]:19-21).
Ayat-ayat berikutnya mengungkapkan pengecualian bagi orang-orang yang setia melaksanakan salat, bersedekah, meyakini adanya Hari Pembalasan dan Azab Allah, menepati janji, dan selalu berbuat baik.

Manusia diciptakan suka mengeluh. Namun, dalm menghadapi sebuah kesulitan, kita bisa curhat dan memohon pertolongan Allah, misalnya ketika salat. Kita yakin sepenuh hati bahwa hanya Allah Ta'ala yang dapat menolong karena Dialah yang menciptakan dan menggerakkan semuanya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi tanpa izin-Nya.

Kesulitan lebih mudah dijadikan jalan bertobat dan mendekatkan diri kepada-Nya daripada kesenangan. Bagaimana tidak, dalam kesenangan nafsu pun ikut menggelora. Ketika memeroleh pangkat dan jabatan atau harta, kita cenderung pelit dan lupa kepada Zat yang Maha Pemberi, apabila terhadap sesama makhluk-Nya yang semestinya kita berbagi. Kita akan beranggapan kalau semua itu merupakan hasil kerja keras sendiri.

Kita perlu meragukan ucapan diri sendiri. Misalnya ketika kita berucap, "Saya akan bersedekah tetapi nanti kalau saya sudah memperoleh untung lebih banyak." Apabila kemudian mendapat lebih, nafsu akan tetap merasa kurang.
"Tidak! Bahkan, kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akirat." (QS. al-Qiyamah [75]:20-21).
Dalam kesenangan kita mudah lupa dan bernafsu pada hal-hal duniawi daripada kehidupan akhirat yang lebih penting.

Jadi, apalah artinya kesulitan di dunia, apabila dia bisa membuat kita bertobat dan mulia di sisi Allah. Ada banyak orang yang hidup bersama kesenangan, akan tetapi dibiarkan leluasa berbuat maksiat dan dosa. Na'udzubillah.. Menurut saya, lebih baik keadaan sulit yang mengantarkan kita kepada tobat dibandingkan kesenangan yang membuat semakin jauh dari-Nya.

Hal ini tentu saja bukan berarti anjuran untuk mencari-cari kesulitan maupun kesulitan untuk sekadar pencitraan. Kesulitan yang di maksud adalah episode -episode kehidupan yang ditakdirkan Allah yang harus kita terima sambil bertobat kepada-Nya. Yakinkan diri bahwa,
"sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. asy-Syarh [94]:5-6).
Mari kita tetap berikhtiar dan berharap hanya kepada Allah Ta'ala.

"-----------------------------------------------------------------
Keluh kesah menandakan kalau kita tidak ridha dengan takdir-Nya. Padahal, bagi orang beriman setiap takdir pasti baik.

(Sumber: Buku Ikhtiar Meraih Ridha Alloh Jilid 1 karangan Abdullah Gymnastiar)

Rabu, 04 September 2019

Tahun Baru Hijriyah

Tahun baru 1441 H merupakan suatu hal yang pasti bahwa usia kita bertambah dan jatah usia kita semakin berkurang. Sudah selayaknya kita menghisab diri sebelum dihisab oleh Allah Swt.

Apakah kehidupan kita banyak diisi dengan beribadah atau bermaksiat? 
Apakah kita banyak mematuhi ajaran Allah ataukah banyak melanggar aturan Allah? 
Apakah kita ini termasuk orang yang menunaikan shalat fardlu atau malah lalai dalam menunaikan shalat fardlu?
Apakah diri kita ini termasuk golongan orang-orang yang celaka mendapat siksa neraka?

Rasulullah bersabda :
Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir mengatakan:
“Tanda-tanda orang yang akan mendapatkan kecelakaan di akherat kelak ada empat perkara:

1. Terlalu mudah melupakan dosa yang diperbuatnya, padahal dosa itu tercatat di sisi Allah. Orang yang mudah melupakan dosa ia akan malas bertobat dan mudah mengerjakan dosa kembali.

2. Selalu mengingat (dan membanggakan) atas jasanya dan amal shalihnya, padahal ia sendiri tidak yakin apakah amal tersebut diterima Allah atau tidak. Orang selalu mengingat jasanya yang sudah lewat ia akan takabur dan malas untuk berbuat kebajikan kembali di hari-hari berikutnya.

3. Selalu melihat ke atas dalam urusan dunia. Artinya ia mengagumi sukses yang dialami orang lain dan selalu berkeinginan untuk mengejar sukses orang tersebut. Sehingga hidupnya selalu merasa kekurangan.

4. Selalu melihat ke bawah dalam urusan agama. Akibat ia akan merasa puas dengan amalnya selama ini, sebab ia hanya membandingkan amalnya dengan amal orang lain di bawah dia."

Muhammad Syafii Antonio
3 September 2019

Tawadhu

Orang yang tawadhu adalah orang yang senang dalam mencari ilmu, hikmah, dan juga pengalaman. Sedangkan orang yang sombong adalah orang yang selalu mendustakan segala kebenaran yang ada.

"Dan sesungguhnya Alloh mewahyukan padaku (Rasululloh Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam) untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain."
(HR. Muslim No 2865)

Oleh karena itu marilah sahabat, kita miliki sikap tawadhu dalam hidup kita. Dan semoga dengan sikap tawadhu kita, Alloh mendatangkan rahmat dan juga cintanya kepada kita semua, Aamiin Ya Robbal alamin.....

KH. Abdullah Gymnastiar 
3 September 2019

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ ...