Kamis, 21 Oktober 2021

Meneladani AI-'Afuww Allah Yang Maha Pemaaf

Memupuk Jiwa Pemaaf

Seseorang yang mengaku beriman, idealnya tidak sekadar meminta maaf kepada Allah. Lebih jauh lagi, dia pun dituntut untuk meneladani sifat Al-Afuww dengan menginternalisasikan sifat tersebut dalam dirinya. Sebab, Rasulullah SAW telah berjanji, “Ada tiga hal yang jika seseorang melakukannya Allah akan menempatkannya dalam naungan-Nya, mencurahkan rahmat-Nya, dan memasukkannya ke dalam surga-Nya: (1) jika diberi rezeki, dia bersyukur; (2) jika mampu membalas, dia bisa memberi maaf, dan ( 3) jika marah, dia bisa menahan diri.” HR. Hakim

Memang, tidak bisa dipungkiri, ketika dizalimi orang lain, kita akan merasakan sakit hati sehingga tidak jarang sakit hati tersebut berujung pada kedendaman. Dengan meneladani Al-Afuww, kita dituntut untuk membuang jauh kedendaman tersebut. Bahkan sebaliknya, kita mendoakan orang-orang yang menzalimi itu agar bertobat dan menjadi orang saleh. Hal ini sangat menarik, sebab doa orang yang terzalimi itu sangat mustajab. Ketika kita terzalimi, saat itu peluang diijabahnya doa kita terbuka lebar. Sulit memang, akan tetapi itulah penentu kemuliaan diri.

Rasulullah SAW bersabda,
“Seutama-utamanya akhlak dunia dan akhirat adalah agar engkau menghubungkan tali silaturahim dengan orang yang memutuskan silaturahim denganmu, memberi sesuatu kepada orang yang menghalang-halangi pemberian padamu, serta memberi maaf kepada orang yang menganiaya dirimu.”

Kita dapat belajar dari Rasulullah SAW. Walau dihina, dicaci maki, difitnah, bahkan hendak dibunuh, tidak sedikit pun beliau mendendam. Beliau tetap saja berbuat baik kepada orang-orang tersebut dan begitu ringannya beliau memaafkan. Beliau adalah ”Tangan Allah” yang paling utama.

Sebuah hadis dari Abu Hurairah mengungkapkan,
“Pada hari Kiamat akan terdengar suara keras, ”Pada hari ini tidak ada seorang pun yang boleh berdiri, kecuali yang menjadi tangan Allah'.” Orang-orang berkata, “Maha Suci Allah, memiliki tangankah Allah?” Mereka mengatakan hal itu berkali-kali. Lalu beliau menjawab, “Benar, barang siapa memberi maaf sewaktu dalam kondisi mampu membalas, dialah tangan Allah.” 
HR Ad-Dailami

Guna menumbuhsuburkan jiwa pemaaf, setidaknya ada tiga hal yang dapat kita hadirkan dalam diri, yaitu:
Pertama, menyadari bahwa semua orang beriman itu bersaudara. Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya, orang-orang Mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu itu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat (Allah ). . .”.
 (QS Al-Hujurat, 49:10). Pemahaman bahwa setiap orang bersaudara, sedikit banyak, akan membawa tambahan energi bagi kita dalam mengendalikan kemarahan dan rasa sakit hati.

Kedua, berlatih untuk mengikis kedendaman dan sikap tidak mau memaafkan. Sebagai ilustrasi, kita bisa belajar dari para karateka yang berhasil menghancurkan batu bata dengan tangannya. Pertama kali memukulnya, bata tersebut tidak langsung hancur. Akan tetapi, dia tidak patah semangat. Diulanginya terus usaha untuk menghancurkan bata tersebut. Akhirnya, pada pukulan kesekian, pada hari kesekian, bata tersebut berhasil dihancurkan. Memang, tangannya bengkak-bengkak, akan tetapi dia mendapatkan hasil yang diinginkan. Begitu pula dengan hati; apabila dibiarkan sensitif, hati kita akan mudah terluka. Namun, ketika hati Sering dilatih, dia akan lebih siap menghadapi pukulan dari berbagai arah.

Ketiga, tidak memfokuskan perhatian terhadap hal-hal yang menyakitkan hati. Kalau disakiti seseorang, kita jangan melihat orang tersebut, akan tetapi lihatlah dia sebagai sarana ujian dan ladang amal dari Allah. Kita akan semakin sakit, apabila melihat dan mengingat orang yang bersangkutan.

Dengan memiliki jiwa pemaaf, Allah Al Afuww akan memuliakan kita. Maka, balaslah keburukan orang lain, dengan cara terbaik; Ifda' billati hiya ahsan. Itulah kunci kemuliaan diri yang akan melahirkan aneka keajaiban dalam hidup.

K.H. Abdullah Gymnastiar
19 Oktober 2021

Rabu, 06 Oktober 2021

Waktu Tidak Tertolaknya Doa

Berdoa Antara Adzan dan Iqamah

Memanfaatkan waktu antara adzan dan iqamah untuk berdoa kepada Allah Ta’ala, dan berharap bahwa Allah Ta’ala akan mengabulkan doanya. Karena siapa saja yang diberikan taufik dan kemudahan dari Allah Ta’ala untuk berdoa, berarti Allah Ta’ala menghendaki untuk mengabulkan doa tersebut.

Hal ini karena Allah Ta’ala mengatakan,
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

“Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min [40]: 60)

Dari sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الدُّعَاءَ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ، فَادْعُوا
“Sesungguhnya doa yang tidak tertolak adalah doa (yang dipanjatkan) di antara adzan dan iqamah, maka berdoalah (di waktu itu).” 
HR. Ahmad no. 12584, sanad hadits ini shahih sebagaimana penilaian Syaikh Syu’aib Al-Arnauth

Dalam riwayat yang lain disebutkan,
الدُّعَاءُ لَا يُرَدُّ بَيْنَ الأَذَانِ وَالإِقَامَةِ
“Doa itu tidak tertolak (jika dipanjatkan di antara) adzan dan iqamah.” (HR. Tirmidzi no. 212 dan 3595, )
Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud dengan lafadz,
لَا يُرَدُّ الدُّعَاءُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ
“Doa itu tidak tertolak (jika dipanjatkan di antara) adzan dan iqamah.” 
HR. Abu Dawud no. 521

Terkabulnya doa ini tentu saja jika terpenuhi syarat-syarat berdoa dan juga mengamalkan adab-adab ketika berdoa.

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ ...