Senin, 24 Februari 2020

Gelar, Ilmu dan Rahmat Allah

Saudaraku. Biasanya ketika ada mahasiswa bertemu dengan yang tidak kuliah, misalnya anak SMA atau SMP, dia mudah merasa dirinya lebih hebat. Padahal, bisa jadi anak SMA atau SMP yang ditemuinya itu orangnya jujur, dan tidak pernah mencontek seperti yang sering dilakukannya di kampus. 

Jadi, misalkan saudara memiliki gelar, bersyukurlah atas takdir Allah yang baik itu. Tapi tidak usah merasa mulia dengan gelar, sehingga jika tidak disebut saudara menjadi tersinggung atau terhina. Karena kemuliaan tidak diukur oleh gelar, tapi dengan ketakwaan. 

Kalau penyebutan gelar hanya membuat hati menjadi kotor, lebih baik tidak usah disebutkan. Kecuali jika tempatnya mengharuskan, sebutlah yang proporsional saja. Seperti ketika berada dalam sebuah forum. Kalau ditanyakan tentang pendidikan kita, cukup dijawab misalnya, ”Saya S-3.” Tidak usah ditambah lagi kalimatnya dengan, ”Anda belum tahu ya?" Tidak perlu! Karena gelar hanyalah topeng dunia. 

Atau, gelarnya mungkin tidak disebut, tapi bangganya lewat kata-kata. Misalkan menjelang lebaran ditelepon teman dari kampung, ”Kang, lebaran ini pulang?” Lalu dijawab, ”You pikir dong.” Kata temannya, ”Saya Cecep bukan Yuyuk.” ketika bertemu lebaran dikatakan lagi,"You paham? Di dalam fluktuasi globalisasi yang tersentralisir dengan status ekonomi yang heterogen.” Temannya langsung bingung. 

Nah, saudaraku. Gelar itu tidak salah. S-1, S-2, S-3, atau apa pun. Dikarenakan ilmu sama dengan harta, yakni netral. Yang tidak netral adalah merasa diri atau kotornya hati dengan gelar yang dipegang. Sehingga bukan berarti tidak boleh kuliah, saudara jangan salah paham. 

Masing-masing kita punya garis takdir. Misalnya ada yang bagiannya menjadi kaya, ada yang sedang, demikian juga ada yang kuliah dan ada yang tidak. Yang penting ketika mendapatkan takdirnya kita tetap merunduk. Jangan ujub, sombong, dan pamer! Kuliah bukanlah segaIa-galanya. Surga tidak ditentukan oleh kampus atau gelar. Kita semuanya hamba Allah.Teruslah merunduk. 

”Ada tiga hal yang merusak akhlak, jiwa, dan agama. Yaitu, pertama, kikir yang diikuti, kedua, nafsu yang diperturutkan, dan yang ketiga adalah ujub, heran kepada diri sendiri.” 
(HR. Thabrani) 

Pastinya orang berilmu yang merunduk itu lebih disukai Allah daripada yang ujub. Orang lain juga akan nyaman bergaul dengan yang berilmu dan tetap merunduk. Tinggi, luas maupun sedang ilmu yang dimiliki, yang penting kita terus memohon supaya dirahmati Allah. 

Orang yang dirahmati Allah, makin tinggi ilmunya akan makin merunduk. Seperti sering bertafakur. ”Ya Allah, hanya Engkau yang membuat saya bisa kuliah. Jika Engkau takdirkan saya jadi kambing, baru di depan kampus saja sudah diusir. Engkau takdirkan otak saya normal. Jika Engkau kurangi dua sendok saja sudah tidak bisa berpikir. Engkau takdirkan badan saya sehat dan dimudahkan saat ulangan. Jika Engkau mau, saat itu mudah saja bagi-Mu menakdirkan saya muntaber. Ya Allah, semuanya ini hanya rahmat dan fadhilah-Mu.” 

Hal ini bukan hanya untuk ilmu umum,tapi termasuk pula ilmu agama. Misalkan saudara lulusan perguruan tinggi agama, kalau tidak hati-hati gelar sarjananya bisa menjadi hijab tersendiri. Karena yang belajar ilmu agama belum tentu menjadi dekat dengan Allah, jika tujuannya bukan Allah. 

Misalkan ada yang ditanya tentang tujuan kuliah di perguruan tinggi agama, berkata, "Saya harus jadi sarjana agama, setelah itu harus jadi PNS. Ya, target saya di KUA.” Repot yang begini. KUA itu netral dan tidak salah, Tapi mengapa menjadikan PNS dan KUA sebagai tujuan hidup? Cukuplah Allah yang dituju, dan mohonkanlah rahmat-Nya. 

Atau misalkan di pengajian ada santri yang tersinggung, karena pisang goreng yang sudah diintainya diambil lebih dulu oleh santri lain. ”Ini orang, hafalan saya empat juz, kamu baru satu juz. Ke sinikan pisang gorengnya!” Tidak ada kaitannya hafalan dan pisang goreng. Jangan merasa mulia, spesial atau ujub dengan hafalan. 

Tentunya, dalam berdakwah juga harus berhati-hati. Seperti jangan merasa mulia dan hebat, karena sering diundang misalnya di kantor-kantor pemerintah. Lalu. menganggap rendah pendakwah di kampung yang pendengarnya lebih sederhana dan bawaannya ubi. Karena tempat berdakwah itu sama sekali bukan penentu naiknya derajat kita di sisi Allah. 

Nah, saudaraku. Gelar hanyalah topeng dunia, dan Ilmu Itu netral seperti harta. Dengan ilmu yang telah dikaruniai Allah, mari kita terus merunduk. Kita harapkan dan mohonkan rahmat Allah supaya selama mampir di dunia ini, hidup kita benar. Semoga dengan rahmat-Nya Itu, kita bisa selamat saat tiba waktunya untuk pulang.

KH. Abdullah Gymnastiar
23 Februari 2020

Kamis, 20 Februari 2020

Jadilah Teman Yang Baik


Saudaraku. Misalkan setelah berjuang keras menahan, akhirnya kita buang angin juga di depan orang orang. Kira-kira apa yang kita inginkan dari orang lain saat itu? Biasanya kita ingin semua yang hadir pura-pura tuli. Kita bersikap tenang walaupun nyata dentumannya.

Nah, kalau begitu, mengapa ketika ada orang Iain buang angin kita suka rewel? Seharusnya kita berlaku sebagaimana ingin diperlakukan orang. Misalnya, kalau tidak mau kesalahan kita dibeberkan, maka jangan membeberkan kesalahan orang. Kalau tidak mau dipermalukan, maka jangan berbuat sebaliknya. Kalau kita berbuat salah ingin dimaafkan, maka maafkanlah kesalahan orang lain.

Kita bisa lebih banyak berbuat baik sebab Allah sudah menanam semacam 'perangkat lunak' kebaikan pada tiap-tiap hati manusia. Kalau ada yang berbuat buruk kepada kita, itu adalah ladang pahala untuk memaafkan dan mendoakannya kebaikan.

Misalkan ada yang berhutang kepada kita dan dia tidak mau membayar. Apa kita mau sesak nafas tiap mengingatnya? Nanti bisa jadi dia makin tidak bisa membayar karena doa yang buruk. Maafkan dan doakan dia kebaikan, ”Ya Allah, bukakan pintu rezeki dan pintu hatinya, serta berikan kelapangan dan kekuatan iman baginya.”Tidak rugi berdoa begini. Bahkan Iembut wajah kita saat berdoa saja sudah amat menguntungkan bagi kita sendiri.

Jangan tanggung kalau kita mau menjadi baik. Walaupun tersembunyi tetap saja kita berbuat baik. Misalnya,”Ya Allah, mungkin dia tidak berniat menipu saya, atau mungkin dia memang penipu yang tanpa niat juga tetap menipu. Apa pun, mudah-mudahan ini tipuannya yang terakhir kali, dan jauhkan saya dari perbuatan begitu.” Kita berhati baik, berpikir baik, berbuat baik dan berdoa yang baik, karena semuanya akan kembali kepada kita.

Dari Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berdiri di samping beberapa orang yang sedang duduk, lalu beliau bersabda, "Maukah kuberitahu kepada kalian tentang orang yang paling baik dan orang yang paling buruk di antara kalian.?”
Mereka pun terdiam tidak ada yang menjawab. Lalu Nabi SAW bertanya kembali hingga tiga kali. Maka salah seorang dari mereka berkata, ”Silakan, wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami tentang orang yang paling baik dan paling buruk di antara kami.”
Rasulullah bersabda, "Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang selalu diharap-harapkan kebaikannya, dan orang lain merasa aman dari keburukannya. Sedangkan orang yang paling buruk di antara kalian adalah orang yang tidak diharapkan ada kebaikan padanya, dan orang lain tidak aman dari keburukannya.” (HR. Imam at-Tirmidzi)

Saudaraku. Orang yang baik itu mengangenkan. Baru melihatnya saja kita jadi ingat kepada Allah. Karena omongan, pikiran dan akhlaknya yang baik mengingatkan kita kepada Allah dan akhirat, serta menambah ilmu, amal, dan keyakinan kita kepada-Nya.

Dari lbnu Abbas ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya, ”Wahai Rasulullah manakah di antara kawan-kawan kami yang terbaik?” Maka beliau menjawab, ”Seseorang yang dengan melihatnya mengingatkan kalian kepada Allah, dengan perkataannya bertambah amal kebaikan kalian, dan amaI-amalnya mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Imam Abu Ya'la)

Oleh sebab itu, kalau kita mencari teman atau sahabat, carilah yang mengangenkan seperti itu. Supaya amal-amal saleh kita juga ikut bertambah. Nah, bagaimana caranya kita mendapat teman yang baik? Mulailah dari diri sendiri, yakni dengan menjadi teman yang baik bagi orang lain. Jadikan diri kita sebagai teman yang mengangenkan. Seperti dengan memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, serta tidak mengingat atau menyebut keburukan orang lain. Karena mengingat keburukan orang lain justru membikin hidup kita sendiri tidak nyaman.

KH. Abdullah Gymnastiar
19 Februari 2020

Selasa, 11 Februari 2020

Ikhlas

Salah satu kunci kebahagiaan di dalam hidup ini adalah ikhlas, dan kunci untuk mendapatkan keikhlasan adalah putus harapan dari makhluk hanya berharap kepada Alloh.

Sahabat, ada 5 tips medapatkan hati yang ikhlas :
  1.  Jangan selalu ingin diketahui semua amalan kita,
  2.  Jangan selalu ingin dilihat orang,
  3.  Jangan ingin dipuji, jangan takut dicaci,
  4.  Jangan ingin diperlakukan spesial,
  5.  Jangan ingin dibalas budi.
KH. Abdullah Gymnastiar
10 Februari 2020

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ ...