Kamis, 13 Agustus 2020

Rumus Kehidupan

Saudaraku, masih ingatkah kita dengan sejumlah rumus yang pernah diajarkan di sekolah? Seperti rumus luas lingkaran, segitiga, kubus dan sebagainya? Rumus-Rumus itu diajarkan di sekolah untuk memudahkan kita dalam menghitung. Maka, rumus-rumus ini menjadi sangat penting. Orang tidak lulus ujian di sekolah bukan karena salah soal, tetapi karena salah rumusnya. Salah rumus, salah jawabannya.

Begitu dengan kehidupan ini. Rumus kehidupan adalah Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya adalah rumus untuk menghadapi aneka masalah yang sangat dekat dengan keseharian kita. Kita bisa membacanya pada surah al-baqarah (2) ayat 155-157, 
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikan lah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata ‘innalillahi wa innailaihi rajiun’
(sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nyalah kami kembali). Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Rumus ini menerangkan bahwa Allah Ta’ala akan menimpakan sedikit ujian kepada hamba-hamba-Nya. Ketakutan, kelaparan maupun kekurangan harta, itu semua pasti akan ditimpakan kepada manusia, tidak bisa tidak. Namun demikian, ayat tersebut ada sambungannya yaitu bahwa Allah akan memberikan kabar gembira bagi orang orang yang sabar dalam melaluinya. Jadi, kalau kita sabar, kepahitan itu sebetulnya adalah kabar gembira.

Lalu, sabar itu apa? Kita mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa semua milik Allah dan kita pasti kembali kepada-Nya. Satu tidak merasa memiliki. Dua tidak punya tempat kembali. Dengan demikian, selama kita merasa memiliki dan selama kita masih mencari tempat kembali selain Allah, selama itu pula tidak akan ada sabar.

Jadi, dari musibahlah datangnya berita gembira bagi orang yang sabar, yaitu orang yang merasa tidak memiliki apapun, kecuali yakin lahir dan batin kalau semuanya milik Allah Ta’ala. Maka, siapa yang inin mendapatkan keberkahan yang sempurna, curahan rahmat dan petunjuk, dia harus siap melewati kepahitan yang sedikit dan yang pasti ditimpakan.

Ketika diberikan sebuah ujian, kita merasa menderita itu bukan karena ujiannya yang besar, Ujiannya itu hanya sedikit dan kepahitannya untuk kita pun sudah diukur. Kita menderita menghadapi ujian karena kita sendiri yang mendramatisasinya. Mengapa? Sebab, kita belum tahu rumusnya.

Ada orang yang malah sengaja mendramatisasi kesulitannya sendiri karena dia tidak tahu atau lupa rumusnya. Kepahitannya justru dijadikan sebagai pencitraan agar orang-orang kasihan lalu membantunya, maupun supaya orang-orang menganggap dirinya hebat.

Jangan saudaraku, untuk apa? Ujian hidup kita yang sedikit itu urusannya dengan Allah Ta’ala dan setiap jalan keluar juga milik-Nya. Berdoalah kepada Allah dan bersabarlah. Tidak akan ada gunanya kita menangisi masalah, mempermasalahkan orang lain, atau mencari simpati dan pencitraan atas masalah yang dihadapi, kecuali hanya akan membuat kita semakin menderita. 

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(Q.S ar-Ra’d [13] :28)

Jadi, mari kita baca dan pelajari al-Quran dan sunnah. Kita pahami rumus kehidupan yang telah dijelaskan dengan sangat terang agar kita bisa lulus ketika menghadapi ujian dan agar hidup kita yang sementara ini tidak gagal.

Mustahil bagi kita untuk mendapatkan jalan keluar dari himpitan masalah, tercapai keinginan yang terbaik atau selamat dari ancaman, kecuali hanya dengan pertolongan-Nya.

KH. Abdullah Gymnastiar
12 Agustus 2020

Jumat, 07 Agustus 2020

Cara Mengenal Al-Haqq

Saudaraku, kali ini saya hendak bercerita mengenai pengalaman ketika menghadiri undangan ceramah di Morotai, Maluku Utara. Saat itu ceramah selesainya di sore hari, dan besoknya tidak ada penerbangan. Sehingga malam harinya harus menggunakan perahu kecil yang ada motornya. Maka diputuskanlah berangkat jam satu malam, karena harus mengejar jam tujuh pagi sampai di suatu tempat.

Ketika menaiki perahu yang sederhana itu bersama beberapa orang, saya mencari pelampung sebagai syaratnya. Ternyata yang ada hanyalah bantalan kursi. Kemudian saya lihat nahkodanya juga tidak memiliki lampu. Tidak punya kompas, dan tidak ada alat komunikasi. Padahal lautnya gelap. Sempat terbayang seandai salah arah, atau perahunya tenggelam dan dimakan hiu.

Tetapi saya tetap berupaya husnudzan. “Mungkin nahkodanya memang pelaut ulung yang bisa melihat dalam kegelapan (maksudnya, mungkin dia berpatokan pada bintang). Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau dalam gelapnya laut ini, dan Engkau Yang Maha tau apa yang akan terjadi.”

Lelah sendiri juga kalau sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Sehingga walaupun mengantuk, tetap berusaha sebisanya untuk sholat daripada tidur. Karena doa itu syariatnya menjadi jalan berubahnya takdir. Jika ada takdir musibah, maka doa dan musibah saling bertarung mana yang lebih kuat dan akan mengalahkan.

Alhamdulillah, setelah sekian jam sampailah di pelabuhan yang dituju. Saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih pada pelaut yang luar biasa tadi. Perjalanan tenang dan selamat sampai tujuan. Tapi rupanya tenang itu ada beberapa jenis. Satu, tenang karena zikir, dan kedua, tenang karena tidak tahu.

Beberapa waktu kemarin, setelah kembali ke Daarut Tauhiid, teman-teman mengungkapkan bahwa nahkoda itu ternyata baru pertama kali juga melaut dalam kegelapan. Semua yang di perahu sebetulnya juga takut. Kata nahkodanya, “Saya baru berani kalau yang diantar kiai, Insya Allah selamat.” Rupanya sama-sama husnudzan.

“Ya Allah, Mahabenar dan Mahasuci Engkau yang menyembunyikan ketidaktahuan ini.” Kalau saya mengetahuinya saat itu, bisa bertambah stress. Semakin sibuk berpikir macam-macam. Bagaimana jika ada satu balok kayu yang tidak kelihatan lalu menembus perahu? Bisa langsung karam. Seperti baru terdengar kabar juga kemarin, tentang adanya tamu dari daerah yang sama, yang perahunya tenggelam dan enam orang meninggal. Jadi, ada benarnya juga tidak tahu.

Alhamdulillah, ya Allah. Ketika berada di kegelapan laut, betapa terasa kecilnya diri ini. Begitu jelas jika tidak ada apa-apanya diri kita. Manusia sangat lemah sekali. Seharusnya jika kita bertemu dengan laut, gunung, bahkan ciptaan allah lainnya seperti binatang yang berukuran kecil, maka bertafakurlah.

Misalnya, bertafakur lah ketika melihat burung yang bisa terbang. Jangan malah, “Wah itu ada burung, cari senapan angin.” Rendah sekali diri kita kalau begitu. Nikmatilah bagaimana burung itu terbang atau saat dia menukik tajam, yang tidak jarang hingga di permukaan lalu dengan koordinasi otot dan gerakannya yang menakjubkan kembali naik. Mahabenar dan Mahasuci Engkau ya Allah, karena sehebat - hebatnya penerjun payung kalau sudah menukik tajam berarti selesai.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda kebesaran Kami di segenap penjuru, dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
QS. al-Fushilat (41):53

Jadi, Saudaraku. Memperbanyak tafakur merupakan cara untuk mengenal Al-Haqq, mengenal Allah dan mengenal kebenaran Al-Quran. Kita harus sering-sering bertafakur. Kalau kita tidak meluangkan waktu untuk bertafakur, maka banyak pelajaran yang terlewat kan. Karena disegenap penjuru, termasuk yang ada pada diri kita sendiri, bisa menjadi bahan bertafakur.

KH. Abdullah Gymnastiar
6 Agustus 2020

Kamis, 06 Agustus 2020

Kehadiran Allah

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau berkata, “Aku melihat tapak kaki kaum musyrikin ketika kami bersembunyi di dalam gua, dan orang-orang tersebut tepat di atas kepala kami. Lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, adaikata seseorang dari mereka itu melihat ke bawah kakinya maka pasti mereka akan melihat tempat kita ini.‘ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ‘ Wahai Abu Bakar, apakah engkau mengira bahwa kita hanya berdua? Allah adalah yang ketiga dari kita ini.”

(HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Nah, saudaraku. Kalau kita misalnya menyebut Allah sebagai “yang ketiga”, seperti pada hadis tersebut, maka jangan membayangkan kita menjadi bertiga dengan Alloh dalam bentuk sebagaimana kita sehari-hari. Karena Allahu Ahad itu bukan berarti angka ‘satu’ dalam bilangan kita.

Kalau angka satu bilangan kita dapat ditemui dari mana saja. Misalnya setengah ditambah setengah, dua dikurang satu, sepertiga dikali tiga atau dua dibagi dua. Satunya kita bisa penjumlahan, pengurangan, pengalian dan pembagian. Tapi Allahu Ahad tidak bisa dari sisi manapun.

Allahu Ahad berbeda dengan “satu”-nya kita. Maksudnya, Allah tidak harus wujud. Seperti sekarang saudara sedang membaca tulisan ini, Allah pasti hadir dan menyaksikan. Misalkan saat membaca tulisan ini saudara sendirian, maka saudara bisa menyebut Allah sebagai “yang kedua”. Saudara sedang berdua dengan Allah.

Tidak sulit bagi kita meyakini sesuatu yang tidak terlihat. Seperti udara dan gaya gravitasi, kita meyakininya ada meski tidak tampak. Sama dengan elektron, proton, atau listrik juga tidak tampak, mungkin baru terlihat ketika ada yang salah pegang kabel.

Untuk lebih jelasnya, Aa akan menyampaikan sebuah kisah yang sudah sering diceritakan. Bagi saudara yang mungkin masih ingat, tidak ada salahnya membaca lagi supaya kita tidak mudah lupa tentang kehadiran Allah.

Suatu ketika ada seseorang yang terpelajar secara duniawi bertanya tiga hal kepada orang-orang. Pertama, tentang bukti kehadiran Allah. Kedua, tentang apa sebetulnya takdir. ketiga, tentang setan yang dicipta dari api dan dimasukkan ke neraka yang api juga, yang dianggapnya sebagai lelucon.

Setiap orang yang ditanyainya tidak ada yang bisa menjawab. Sampai kemudian ada seseorang yang berkata padanya agar dia pergi menemui seorang alim di sebuah kampung, “Insya Allah, beliau bisa memberi jawaban yang memuaskan Anda.” Tapi orang yang terpelajar duniawi menganggap nasehat itu sebagai lelucon tambahan. “Orang kota saja nggak bisa jawab, apalagi orang kampung.” Katanya. “Dicoba saja dulu,” jawab seseorang tadi meyakinkannya.

Singkat cerita, sampailah dia di kampung dan bertemu orang alim yang dimaksud. Dia langsung bertanya, “Kakek, setiap yang ada itu harus ada buktinya. Kalau Tuhan ada buktinya? Lalu apa itu takdir? Jangan-jangan cuma alasan atau dalih saja karena nggak berani menerima kenyataan. Dan, katanya setan dibuat dari api, tapi mengapa dimasukkan ke neraka yang api juga? kan, api dengan api ngga berasa. Bagaimana, kek?”

Kakek alim berkata, “mendekat kesini, nak.” Plakk…
Orang yang terpelajar duniawi itu ditempeleng. “Kakek! Kalau ngga bisa jawab, jangan emosi dong!” teriaknya kesakitan. “Maafkan saya, nak. Itu bukan menempeleng, tapi itulah jawabannya.” Tapi dia masih tidak terima, “Jawaban bagaimana, kek? Sakit ini!”

“Benar sakit?” tanya kakek. “Sumpah, sakit banget, kek!” Lalu kakek itu bertanya lagi, “engkau yakin sakit itu ada?” “Yakin, kek!” Kakek itu kembali berkata, “Baiklah, kalau benar sakit itu ada, coba tunjukkan atau gambarkan saja seperti apa sakit itu?” Orang yang terpelajar mulai kebingungan, “Ya, pokoknya ada.”

Itulah bukti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu ada, tapi tidak bisa ditunjukkan atau digambarkan tapi bisa dirasakan bagi yang yakin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Baiklah,” lanjut kakek itu, “Apa sebelum itu engkau pernah bermimpi ditempeleng?” “Tidak,” jawabannya. “Apa engkau merencanakan ditempeleng?” Tanya kakek lagi. “Sama sekali tidak.” Atau, “Mungkin engkau punya cita-cita ditempeleng?” “Amit-amit, nggalah kek.” Maka,”itulah takdir,” jelas kakek alim.

Lalu, “Ini apa?” kakek menunjuk telapak tangannya, “kulit.” Dan, “Di pipimu itu apa?” Kulit,” jawabanya lagi. “Jadi, saat kulit bertemu dengan kulit tadi bagaimana?” “Sakit , Kakek" ujarnya yang masih kesakitan. Begitulah ketika setan dimasukan ke neraka.

Nah Saudaraku. Kita harus yakin bahwa Allah selalu hadir, menyaksikan, mengawasi dan menjaga kita.

KH. Abdullah Gymnastiar
5 Agustus 2020

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ ...