Kamis, 13 Agustus 2020

Rumus Kehidupan

Saudaraku, masih ingatkah kita dengan sejumlah rumus yang pernah diajarkan di sekolah? Seperti rumus luas lingkaran, segitiga, kubus dan sebagainya? Rumus-Rumus itu diajarkan di sekolah untuk memudahkan kita dalam menghitung. Maka, rumus-rumus ini menjadi sangat penting. Orang tidak lulus ujian di sekolah bukan karena salah soal, tetapi karena salah rumusnya. Salah rumus, salah jawabannya.

Begitu dengan kehidupan ini. Rumus kehidupan adalah Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW. Di antaranya adalah rumus untuk menghadapi aneka masalah yang sangat dekat dengan keseharian kita. Kita bisa membacanya pada surah al-baqarah (2) ayat 155-157, 
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikan lah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata ‘innalillahi wa innailaihi rajiun’
(sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nyalah kami kembali). Merekalah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”

Rumus ini menerangkan bahwa Allah Ta’ala akan menimpakan sedikit ujian kepada hamba-hamba-Nya. Ketakutan, kelaparan maupun kekurangan harta, itu semua pasti akan ditimpakan kepada manusia, tidak bisa tidak. Namun demikian, ayat tersebut ada sambungannya yaitu bahwa Allah akan memberikan kabar gembira bagi orang orang yang sabar dalam melaluinya. Jadi, kalau kita sabar, kepahitan itu sebetulnya adalah kabar gembira.

Lalu, sabar itu apa? Kita mengatakan dengan penuh keyakinan bahwa semua milik Allah dan kita pasti kembali kepada-Nya. Satu tidak merasa memiliki. Dua tidak punya tempat kembali. Dengan demikian, selama kita merasa memiliki dan selama kita masih mencari tempat kembali selain Allah, selama itu pula tidak akan ada sabar.

Jadi, dari musibahlah datangnya berita gembira bagi orang yang sabar, yaitu orang yang merasa tidak memiliki apapun, kecuali yakin lahir dan batin kalau semuanya milik Allah Ta’ala. Maka, siapa yang inin mendapatkan keberkahan yang sempurna, curahan rahmat dan petunjuk, dia harus siap melewati kepahitan yang sedikit dan yang pasti ditimpakan.

Ketika diberikan sebuah ujian, kita merasa menderita itu bukan karena ujiannya yang besar, Ujiannya itu hanya sedikit dan kepahitannya untuk kita pun sudah diukur. Kita menderita menghadapi ujian karena kita sendiri yang mendramatisasinya. Mengapa? Sebab, kita belum tahu rumusnya.

Ada orang yang malah sengaja mendramatisasi kesulitannya sendiri karena dia tidak tahu atau lupa rumusnya. Kepahitannya justru dijadikan sebagai pencitraan agar orang-orang kasihan lalu membantunya, maupun supaya orang-orang menganggap dirinya hebat.

Jangan saudaraku, untuk apa? Ujian hidup kita yang sedikit itu urusannya dengan Allah Ta’ala dan setiap jalan keluar juga milik-Nya. Berdoalah kepada Allah dan bersabarlah. Tidak akan ada gunanya kita menangisi masalah, mempermasalahkan orang lain, atau mencari simpati dan pencitraan atas masalah yang dihadapi, kecuali hanya akan membuat kita semakin menderita. 

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
(Q.S ar-Ra’d [13] :28)

Jadi, mari kita baca dan pelajari al-Quran dan sunnah. Kita pahami rumus kehidupan yang telah dijelaskan dengan sangat terang agar kita bisa lulus ketika menghadapi ujian dan agar hidup kita yang sementara ini tidak gagal.

Mustahil bagi kita untuk mendapatkan jalan keluar dari himpitan masalah, tercapai keinginan yang terbaik atau selamat dari ancaman, kecuali hanya dengan pertolongan-Nya.

KH. Abdullah Gymnastiar
12 Agustus 2020

Jumat, 07 Agustus 2020

Cara Mengenal Al-Haqq

Saudaraku, kali ini saya hendak bercerita mengenai pengalaman ketika menghadiri undangan ceramah di Morotai, Maluku Utara. Saat itu ceramah selesainya di sore hari, dan besoknya tidak ada penerbangan. Sehingga malam harinya harus menggunakan perahu kecil yang ada motornya. Maka diputuskanlah berangkat jam satu malam, karena harus mengejar jam tujuh pagi sampai di suatu tempat.

Ketika menaiki perahu yang sederhana itu bersama beberapa orang, saya mencari pelampung sebagai syaratnya. Ternyata yang ada hanyalah bantalan kursi. Kemudian saya lihat nahkodanya juga tidak memiliki lampu. Tidak punya kompas, dan tidak ada alat komunikasi. Padahal lautnya gelap. Sempat terbayang seandai salah arah, atau perahunya tenggelam dan dimakan hiu.

Tetapi saya tetap berupaya husnudzan. “Mungkin nahkodanya memang pelaut ulung yang bisa melihat dalam kegelapan (maksudnya, mungkin dia berpatokan pada bintang). Ya Allah, tiada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau dalam gelapnya laut ini, dan Engkau Yang Maha tau apa yang akan terjadi.”

Lelah sendiri juga kalau sibuk memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi. Sehingga walaupun mengantuk, tetap berusaha sebisanya untuk sholat daripada tidur. Karena doa itu syariatnya menjadi jalan berubahnya takdir. Jika ada takdir musibah, maka doa dan musibah saling bertarung mana yang lebih kuat dan akan mengalahkan.

Alhamdulillah, setelah sekian jam sampailah di pelabuhan yang dituju. Saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih pada pelaut yang luar biasa tadi. Perjalanan tenang dan selamat sampai tujuan. Tapi rupanya tenang itu ada beberapa jenis. Satu, tenang karena zikir, dan kedua, tenang karena tidak tahu.

Beberapa waktu kemarin, setelah kembali ke Daarut Tauhiid, teman-teman mengungkapkan bahwa nahkoda itu ternyata baru pertama kali juga melaut dalam kegelapan. Semua yang di perahu sebetulnya juga takut. Kata nahkodanya, “Saya baru berani kalau yang diantar kiai, Insya Allah selamat.” Rupanya sama-sama husnudzan.

“Ya Allah, Mahabenar dan Mahasuci Engkau yang menyembunyikan ketidaktahuan ini.” Kalau saya mengetahuinya saat itu, bisa bertambah stress. Semakin sibuk berpikir macam-macam. Bagaimana jika ada satu balok kayu yang tidak kelihatan lalu menembus perahu? Bisa langsung karam. Seperti baru terdengar kabar juga kemarin, tentang adanya tamu dari daerah yang sama, yang perahunya tenggelam dan enam orang meninggal. Jadi, ada benarnya juga tidak tahu.

Alhamdulillah, ya Allah. Ketika berada di kegelapan laut, betapa terasa kecilnya diri ini. Begitu jelas jika tidak ada apa-apanya diri kita. Manusia sangat lemah sekali. Seharusnya jika kita bertemu dengan laut, gunung, bahkan ciptaan allah lainnya seperti binatang yang berukuran kecil, maka bertafakurlah.

Misalnya, bertafakur lah ketika melihat burung yang bisa terbang. Jangan malah, “Wah itu ada burung, cari senapan angin.” Rendah sekali diri kita kalau begitu. Nikmatilah bagaimana burung itu terbang atau saat dia menukik tajam, yang tidak jarang hingga di permukaan lalu dengan koordinasi otot dan gerakannya yang menakjubkan kembali naik. Mahabenar dan Mahasuci Engkau ya Allah, karena sehebat - hebatnya penerjun payung kalau sudah menukik tajam berarti selesai.

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda kebesaran Kami di segenap penjuru, dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa al-Quran itu adalah benar. Tidak cukupkah bagi kamu bahwa Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”
QS. al-Fushilat (41):53

Jadi, Saudaraku. Memperbanyak tafakur merupakan cara untuk mengenal Al-Haqq, mengenal Allah dan mengenal kebenaran Al-Quran. Kita harus sering-sering bertafakur. Kalau kita tidak meluangkan waktu untuk bertafakur, maka banyak pelajaran yang terlewat kan. Karena disegenap penjuru, termasuk yang ada pada diri kita sendiri, bisa menjadi bahan bertafakur.

KH. Abdullah Gymnastiar
6 Agustus 2020

Kamis, 06 Agustus 2020

Kehadiran Allah

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau berkata, “Aku melihat tapak kaki kaum musyrikin ketika kami bersembunyi di dalam gua, dan orang-orang tersebut tepat di atas kepala kami. Lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, adaikata seseorang dari mereka itu melihat ke bawah kakinya maka pasti mereka akan melihat tempat kita ini.‘ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ‘ Wahai Abu Bakar, apakah engkau mengira bahwa kita hanya berdua? Allah adalah yang ketiga dari kita ini.”

(HR. Imam Bukhari dan Muslim)

Nah, saudaraku. Kalau kita misalnya menyebut Allah sebagai “yang ketiga”, seperti pada hadis tersebut, maka jangan membayangkan kita menjadi bertiga dengan Alloh dalam bentuk sebagaimana kita sehari-hari. Karena Allahu Ahad itu bukan berarti angka ‘satu’ dalam bilangan kita.

Kalau angka satu bilangan kita dapat ditemui dari mana saja. Misalnya setengah ditambah setengah, dua dikurang satu, sepertiga dikali tiga atau dua dibagi dua. Satunya kita bisa penjumlahan, pengurangan, pengalian dan pembagian. Tapi Allahu Ahad tidak bisa dari sisi manapun.

Allahu Ahad berbeda dengan “satu”-nya kita. Maksudnya, Allah tidak harus wujud. Seperti sekarang saudara sedang membaca tulisan ini, Allah pasti hadir dan menyaksikan. Misalkan saat membaca tulisan ini saudara sendirian, maka saudara bisa menyebut Allah sebagai “yang kedua”. Saudara sedang berdua dengan Allah.

Tidak sulit bagi kita meyakini sesuatu yang tidak terlihat. Seperti udara dan gaya gravitasi, kita meyakininya ada meski tidak tampak. Sama dengan elektron, proton, atau listrik juga tidak tampak, mungkin baru terlihat ketika ada yang salah pegang kabel.

Untuk lebih jelasnya, Aa akan menyampaikan sebuah kisah yang sudah sering diceritakan. Bagi saudara yang mungkin masih ingat, tidak ada salahnya membaca lagi supaya kita tidak mudah lupa tentang kehadiran Allah.

Suatu ketika ada seseorang yang terpelajar secara duniawi bertanya tiga hal kepada orang-orang. Pertama, tentang bukti kehadiran Allah. Kedua, tentang apa sebetulnya takdir. ketiga, tentang setan yang dicipta dari api dan dimasukkan ke neraka yang api juga, yang dianggapnya sebagai lelucon.

Setiap orang yang ditanyainya tidak ada yang bisa menjawab. Sampai kemudian ada seseorang yang berkata padanya agar dia pergi menemui seorang alim di sebuah kampung, “Insya Allah, beliau bisa memberi jawaban yang memuaskan Anda.” Tapi orang yang terpelajar duniawi menganggap nasehat itu sebagai lelucon tambahan. “Orang kota saja nggak bisa jawab, apalagi orang kampung.” Katanya. “Dicoba saja dulu,” jawab seseorang tadi meyakinkannya.

Singkat cerita, sampailah dia di kampung dan bertemu orang alim yang dimaksud. Dia langsung bertanya, “Kakek, setiap yang ada itu harus ada buktinya. Kalau Tuhan ada buktinya? Lalu apa itu takdir? Jangan-jangan cuma alasan atau dalih saja karena nggak berani menerima kenyataan. Dan, katanya setan dibuat dari api, tapi mengapa dimasukkan ke neraka yang api juga? kan, api dengan api ngga berasa. Bagaimana, kek?”

Kakek alim berkata, “mendekat kesini, nak.” Plakk…
Orang yang terpelajar duniawi itu ditempeleng. “Kakek! Kalau ngga bisa jawab, jangan emosi dong!” teriaknya kesakitan. “Maafkan saya, nak. Itu bukan menempeleng, tapi itulah jawabannya.” Tapi dia masih tidak terima, “Jawaban bagaimana, kek? Sakit ini!”

“Benar sakit?” tanya kakek. “Sumpah, sakit banget, kek!” Lalu kakek itu bertanya lagi, “engkau yakin sakit itu ada?” “Yakin, kek!” Kakek itu kembali berkata, “Baiklah, kalau benar sakit itu ada, coba tunjukkan atau gambarkan saja seperti apa sakit itu?” Orang yang terpelajar mulai kebingungan, “Ya, pokoknya ada.”

Itulah bukti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu ada, tapi tidak bisa ditunjukkan atau digambarkan tapi bisa dirasakan bagi yang yakin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Baiklah,” lanjut kakek itu, “Apa sebelum itu engkau pernah bermimpi ditempeleng?” “Tidak,” jawabannya. “Apa engkau merencanakan ditempeleng?” Tanya kakek lagi. “Sama sekali tidak.” Atau, “Mungkin engkau punya cita-cita ditempeleng?” “Amit-amit, nggalah kek.” Maka,”itulah takdir,” jelas kakek alim.

Lalu, “Ini apa?” kakek menunjuk telapak tangannya, “kulit.” Dan, “Di pipimu itu apa?” Kulit,” jawabanya lagi. “Jadi, saat kulit bertemu dengan kulit tadi bagaimana?” “Sakit , Kakek" ujarnya yang masih kesakitan. Begitulah ketika setan dimasukan ke neraka.

Nah Saudaraku. Kita harus yakin bahwa Allah selalu hadir, menyaksikan, mengawasi dan menjaga kita.

KH. Abdullah Gymnastiar
5 Agustus 2020

Selasa, 23 Juni 2020

Di Jalan Allah Ta'ala

๐Ÿ”ธDari Ka'b bin 'Ujrah radhiyallahu 'anhu, ia mengisahkan, 

"Ada seseorang melewati Nabi ๏ทบ dan para sahabatnya. Mereka melihat kesabaran dan jiwa semangat orang itu. Kemudian para sahabat berkata kepada Nabi ๏ทบ :

"Wahai Rasulullah ๏ทบ seandainya hal ini (jiwa semangatnya) ia peruntukkan (berperang/jihad) di jalan Allah Ta'ala.

๐Ÿ”ธMaka Rasulullah ๏ทบ menjawab,

ุฅู†ْ ูƒَุงู†َ ุฎَุฑَุฌَ ูŠَุณْุนَู‰ ุนَู„َู‰ ูˆَู„َุฏِู‡ِ ุตِุบَุงุฑًุง، ูَู‡ُูˆَ ูِูŠ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ

๐Ÿ“
Apabila dia keluar (rumah) untuk berusaha (mencari penghasilan) karena anaknya yang masih kecil, maka itu di jalan Allah Ta'ala.

ูˆَุฅِู†ْ ูƒَุงู†َ ุฎَุฑَุฌَ ูŠَุณْุนَู‰ ุนَู„َู‰ ุฃَุจَูˆَูŠْู†ِ ุดَูŠْุฎَูŠْู†ِ ูƒَุจِูŠุฑَูŠْู†ِ ูَู‡ُูˆَ ูِูŠ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ

๐Ÿ“
Apabila dia keluar (rumah) berusaha (mencari penghasilan) karena kedua orang tuanya yang sudah tua renta, maka itu di jalan Allah Ta'ala.

ูˆَุฅِู†ْ ูƒَุงู†َ ุฎَุฑَุฌَ ูŠَุณْุนَู‰ ุนَู„َู‰ ู†َูْุณِู‡ِ ูŠُุนِูُّู‡َุง ูَู‡ُูˆَ ูِูŠ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ู„َّู‡ِ

๐Ÿ“
Apabila dia keluar (rumah) untuk berusaha (mencari penghasilan) bagi dirinya dalam rangka menjaga sifat 'iffahnya (menjaga kehormatan untuk tidak minta-minta), maka itu adalah di jalan Allah Ta' ala.

ูˆَุฅِู†ْ ูƒَุงู†َ ุฎَุฑَุฌَ ูŠَุณْุนَู‰ ุฑِูŠَุงุกً ูˆَู…ُูَุงุฎَุฑَุฉً ูَู‡ُูˆَ ูِูŠ ุณَุจِูŠู„ِ ุงู„ุดَّูŠْุทَุงู†ِ

๐Ÿ“
Apabila dia keluar (rumah) untuk berusaha (mencari penghasilan) karena riya dan bangga, maka itu di jalan setan".

๐Ÿ“šHR. Ath Thabrani dan disahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami'.

Minggu, 14 Juni 2020

Janganlah Engkau Meremehkan Saudaramu Sesama Muslim

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah berkata : 

Dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, sesungguhnya Rasulullah ๏ทบ :


ุจุญุณุจ ุงู…ุฑุฆ ู…ู† ุงู„ุดุฑ ุฃู† ูŠุญู‚ุฑ ุฃุฎุงู‡ ุงู„ู…ุณู„ู…

"Cukuplah seorang dikatakan berbuat jelek tatkala dia meremehkan saudaranya yang muslim."
HR. Muslim

Cukuplah seorang mukmin berbuat jelek tatkala ia meremehkan saudaranya yang mukmin. Dan ini menunjukkan akan besarnya dosa meremehkan seorang muslim, sesungguhnya itu adalah kejelekkan yang begitu besar. Kalau seandainya seorang insan tidak membawa kejelekkan kecuali ini, niscaya itu sudah mencukupi. 

〰 Maka janganlah engkau merendahkan saudaramu muslim, jangan mencela dalam penampilan fisiknya, dalam hal pakaiannya, dalam cara berbicaranya, dalam perangainya atau selainnya. 〰

Saudaramu muslim itu haknya begitu besar atas dirimu. Maka engkau wajib menghormatinya dan memuliakannya. Adapun meremehkannya maka itu haram hukumnya. Tidak halal bagimu meremehkan saudaramu.

๐Ÿ“‘ Syarh Riyadh ash-Shalihin 4/257

Kamis, 16 April 2020

Sakit

Semoga Alloh melindungi kita dari penyakit lahir bathin. Namun bila takdirnya sakit, semoga banyak hikmah yang didapat.


Pertama, sakit bisa menghindarkan kita dari siksa api neraka. 
Rasulullah SAW bersabda, “Sakit demam itu menjauhkan setiap orang mukmin dan api neraka.” (HR al-Bazzar)

Kedua, sakit bisa menjadi penghapus dosa bagi kita. 
Sabda Rasulullah SAW dalam hadis riwayat Muslim, “Tidaklah menimpa seorang mukmin rasa sakit yang terus menerus, kepayahan, penyakit, dan juga kesedihan, bahkan sampai kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengannya dosa-dosanya.”

Ketiga, sakit bisa menjadi sumber kebaikan bagi seseorang jika dia bersabar.
Rasulullah Saw bersabda: “Sungguh semua urusannya merupakan kebaikan, dan hal ini tidak terjadi kecuali bagi orang mukmin. Jika ia mendapat kegembiraan, maka dia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya, dan jika mendapat kesusahan, maka dia bersabar dan ini merupakan kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Keempat, sakit bisa membuat kita kembali dan senantiasa mengingat Alloh. 
Kesusahan dan ujian memudahkan kita ingat Aloh. Sementara saat diberikan kebahagiaan, kita sering lalai.

Alloh SWT telah berfirman: “Dan sesungguhnya kami telah mengutus (para Rasul) kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka memohon (kepada Alloh) dengan tunduk merendahkan diri.” (QS al-An’am: 42)

Kelima, silakan sahabatku lengkapi hikmah lainnya yaa...

Sahabat, dan jangan lupa perbanyak sedekah selagi kita masih diberi kesempatan untuk bersedekah dan sedekah itu sebagai penolak bala.

KH. Abdullah Gymnastiar
15 April 2020

Senin, 30 Maret 2020

Positive Thinking


Oleh: Abdullah Zaen, Lc., MA

Tersebarnya wabah bukan hal baru dalam sejarah kehidupan manusia. Sudah ada sejak dahulu. Namun yang menarik untuk dicermati, bahwa jumlah korban dibanding orang yang selamat, ternyata lebih banyak yang selamat.

Hingga saat inipun, jumlah korban wabah covid-19 di seluruh dunia, dibanding yang sehat, tetap lebih banyak yang sehat. 

Jadi, nikmat yang Allah berikan pada kita itu lebih banyak dibanding musibah yang ditimpakan-Nya. Maka berhentilah berkeluh-kesah! Sebab hal itu tidak menyelesaikan masalah. 

Tumbuhkan pikiran positif. Apalagi tentang Allah ta’ala.

Tahukah Anda, bahwa sebenarnya kenikmatan dunia itu sangat simpel. Hanya tersimpul dalam tiga poin. Sebagaimana dijelaskan Baginda Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam,

"ู…َู†ْ ุฃَุตْุจَุญَ ู…ِู†ْูƒُู…ْ ุขู…ِู†ًุง ูِูŠ ุณِุฑْุจِู‡ِ، ู…ُุนَุงูًู‰ ูِูŠ ุฌَุณَุฏِู‡ِ، ุนِู†ْุฏَู‡ُ ู‚ُูˆุชُ ูŠَูˆْู…ِู‡ِ؛ ูَูƒَุฃَู†َّู…َุง ุญِูŠุฒَุชْ ู„َู‡ُ ุงู„ุฏُّู†ْูŠَุง"

"Barang siapa yang melewati harinya dengan perasaan aman di dalam rumahnya. Badannya sehat. Memiliki makanan untuk hari itu. Maka seakan ia telah memiliki dunia".
(HR. Tirmidziy dan dinilai hasan oleh beliau serta al-Albaniy.)

Tiga hal itu adalah:

Pertama: Aman tinggal di rumah

Rata-rata kita saat ini bisa berkumpul dengan keluarga di rumah. Sebuah nikmat yang teramat mahal bagi sebagian kalangan. Dikarenakan padatnya pekerjaan yang ‘menggila’. Bahkan weekend pun masih digunakan untuk lembur.

Sekarang, karena adanya himbauan social distancing, semua anggota keluarga ‘dipaksa’ berkumpul di rumah. Bahkan di luaran sana, ada aparat berpatroli menjaga agar kita masuk ke rumah. Bukankah ini sebuah nikmat yang tak ternilai?

Kedua: Sehat jasmani

Dengan gencarnya himbauan gaya hidup sehat, banyak perilaku salah yang kita tinggalkan. Sekarang rumah menjadi lebih bersih. Pola makan semakin teratur. Bertambah rajin olahraga dan berjemur matahari pagi. Efeknya imunitas tubuh pun makin meningkat.

Ketiga: Bisa makan

Petunjuk nabawi di atas menjelaskan bahwa bisa makan di hari ini, adalah sebuah kenikmatan luar biasa. Bahagia itu tidak harus punya tabungan yang cukup untuk makan setahun ke depan.

Tak bisa dipungkiri bahwa penghasilan berkurang nominalnya. Namun kekurangan itu bisa disiasati dengan berburu keberkahan. Sehingga yang sedikit itu bisa cukup. Atau bahkan lebih.

Caranya? 
Syukuri dan berlatih hidup sederhana. Bukankah dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sekeluarga pernah hanya mengkonsumsi kurma dan air putih selama berbulan-bulan? 

Kurangi pengeluaran yang tidak primer. Contohnya pulsa dan lauk-pauk berlebih. Apalagi pengeluaran yang tidak ada manfaatnya. Seperti rokok. 

Adapun orang dikaruniai Allah rizki banyak, berbagilah. Sekarang kesempatan emas mendulang pahala melimpah. Sebab pahala sedekah akan semakin berlipat, manakala kebutuhan si fakir semakin mendesak.

Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 
Ahad, 4 Sya’ban 1441 / 29 Maret 2020

Sabtu, 21 Maret 2020

Thoun

Menilik sejarah Islam kita akan menemukan begitu banyak pelajaran berharga dalam menangani berbagai masalah termasuk mengatasi Pandemi Virus Corona saat ini.

Tercatat pada tahun 18 H Umar Ibn Khatrab beserta sejumlah shahabat bergerak dari Madinah menuju Syam, yakni kawasan yang meliputi Suria, Lebanon, Palestina dan Jordan hari ini.

Sesampainya di daerah Amwas mereka bertemu dengan pimpinan pasukan muslim Syam. Abu Ubaidah Ibn Jarrah. Seraya beliau melaporkan kepada Umar bahwa di Syam ada wabah pendemi thaun. Mendengar khabar ini mereka berbeda pendapat Abu Ubaidah mengharapkan Umar masuk ke Syam sementara Umar menolaknya. Umar pun bermusyawarah dengan para shahabat senior. Para shahabat menuduh Umar lari dari taqdir, sementara Umar berargumen lari dari satu taqdir tetapi mengambil taqdir yang lain. Sambil memberi contoh jika diberi pilihan untuk menggembala ternak di dua tempat padang yang kering kerontang atau padang yang subur penuh tanaman mana yang akan diambil.

Belum lagi selesai perdebatan mereka datanglah Abdurrahman Ibn Auf menengahi sambil mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah SAW, bahwa "jika kita mendengar berita ada pandemi di satu daerah janganlah kita masuk ke situ. Jika kita di dalamnya janganlah keluar daerah tersebut" (khawatir menular ke yang lain). 

Umar dan rombongan pun kembali ke Madinah sementara Abu Ubaidan Ibn Jarrah, Muadz Ibn Jabal dan ribuan shahabat lain tetap di Syam. Masya Allah sebagian besar mereka pun syahid... Mendengar hal ini shahabat senior lain Amr Ibn Ash memberikan solusi bahwa kita harus berpencar satu sama lain jangan berkumpul. Karena Thaun akan sangat mudah menular jika berdekatan. Beliau menganjurkan kita tinggal di rumah kita masing-masing dan menjauhi kerumunan.

Itulah mungkin apa yang hari ini disebut social distancing atau bahkan tahap lanjutnya lock down. Masya Allah

#hikmah #sejarahislam #lockdown #covid19 

Muhammad Syafii Antonio

20 Maret 2020

Senin, 24 Februari 2020

Gelar, Ilmu dan Rahmat Allah

Saudaraku. Biasanya ketika ada mahasiswa bertemu dengan yang tidak kuliah, misalnya anak SMA atau SMP, dia mudah merasa dirinya lebih hebat. Padahal, bisa jadi anak SMA atau SMP yang ditemuinya itu orangnya jujur, dan tidak pernah mencontek seperti yang sering dilakukannya di kampus. 

Jadi, misalkan saudara memiliki gelar, bersyukurlah atas takdir Allah yang baik itu. Tapi tidak usah merasa mulia dengan gelar, sehingga jika tidak disebut saudara menjadi tersinggung atau terhina. Karena kemuliaan tidak diukur oleh gelar, tapi dengan ketakwaan. 

Kalau penyebutan gelar hanya membuat hati menjadi kotor, lebih baik tidak usah disebutkan. Kecuali jika tempatnya mengharuskan, sebutlah yang proporsional saja. Seperti ketika berada dalam sebuah forum. Kalau ditanyakan tentang pendidikan kita, cukup dijawab misalnya, ”Saya S-3.” Tidak usah ditambah lagi kalimatnya dengan, ”Anda belum tahu ya?" Tidak perlu! Karena gelar hanyalah topeng dunia. 

Atau, gelarnya mungkin tidak disebut, tapi bangganya lewat kata-kata. Misalkan menjelang lebaran ditelepon teman dari kampung, ”Kang, lebaran ini pulang?” Lalu dijawab, ”You pikir dong.” Kata temannya, ”Saya Cecep bukan Yuyuk.” ketika bertemu lebaran dikatakan lagi,"You paham? Di dalam fluktuasi globalisasi yang tersentralisir dengan status ekonomi yang heterogen.” Temannya langsung bingung. 

Nah, saudaraku. Gelar itu tidak salah. S-1, S-2, S-3, atau apa pun. Dikarenakan ilmu sama dengan harta, yakni netral. Yang tidak netral adalah merasa diri atau kotornya hati dengan gelar yang dipegang. Sehingga bukan berarti tidak boleh kuliah, saudara jangan salah paham. 

Masing-masing kita punya garis takdir. Misalnya ada yang bagiannya menjadi kaya, ada yang sedang, demikian juga ada yang kuliah dan ada yang tidak. Yang penting ketika mendapatkan takdirnya kita tetap merunduk. Jangan ujub, sombong, dan pamer! Kuliah bukanlah segaIa-galanya. Surga tidak ditentukan oleh kampus atau gelar. Kita semuanya hamba Allah.Teruslah merunduk. 

”Ada tiga hal yang merusak akhlak, jiwa, dan agama. Yaitu, pertama, kikir yang diikuti, kedua, nafsu yang diperturutkan, dan yang ketiga adalah ujub, heran kepada diri sendiri.” 
(HR. Thabrani) 

Pastinya orang berilmu yang merunduk itu lebih disukai Allah daripada yang ujub. Orang lain juga akan nyaman bergaul dengan yang berilmu dan tetap merunduk. Tinggi, luas maupun sedang ilmu yang dimiliki, yang penting kita terus memohon supaya dirahmati Allah. 

Orang yang dirahmati Allah, makin tinggi ilmunya akan makin merunduk. Seperti sering bertafakur. ”Ya Allah, hanya Engkau yang membuat saya bisa kuliah. Jika Engkau takdirkan saya jadi kambing, baru di depan kampus saja sudah diusir. Engkau takdirkan otak saya normal. Jika Engkau kurangi dua sendok saja sudah tidak bisa berpikir. Engkau takdirkan badan saya sehat dan dimudahkan saat ulangan. Jika Engkau mau, saat itu mudah saja bagi-Mu menakdirkan saya muntaber. Ya Allah, semuanya ini hanya rahmat dan fadhilah-Mu.” 

Hal ini bukan hanya untuk ilmu umum,tapi termasuk pula ilmu agama. Misalkan saudara lulusan perguruan tinggi agama, kalau tidak hati-hati gelar sarjananya bisa menjadi hijab tersendiri. Karena yang belajar ilmu agama belum tentu menjadi dekat dengan Allah, jika tujuannya bukan Allah. 

Misalkan ada yang ditanya tentang tujuan kuliah di perguruan tinggi agama, berkata, "Saya harus jadi sarjana agama, setelah itu harus jadi PNS. Ya, target saya di KUA.” Repot yang begini. KUA itu netral dan tidak salah, Tapi mengapa menjadikan PNS dan KUA sebagai tujuan hidup? Cukuplah Allah yang dituju, dan mohonkanlah rahmat-Nya. 

Atau misalkan di pengajian ada santri yang tersinggung, karena pisang goreng yang sudah diintainya diambil lebih dulu oleh santri lain. ”Ini orang, hafalan saya empat juz, kamu baru satu juz. Ke sinikan pisang gorengnya!” Tidak ada kaitannya hafalan dan pisang goreng. Jangan merasa mulia, spesial atau ujub dengan hafalan. 

Tentunya, dalam berdakwah juga harus berhati-hati. Seperti jangan merasa mulia dan hebat, karena sering diundang misalnya di kantor-kantor pemerintah. Lalu. menganggap rendah pendakwah di kampung yang pendengarnya lebih sederhana dan bawaannya ubi. Karena tempat berdakwah itu sama sekali bukan penentu naiknya derajat kita di sisi Allah. 

Nah, saudaraku. Gelar hanyalah topeng dunia, dan Ilmu Itu netral seperti harta. Dengan ilmu yang telah dikaruniai Allah, mari kita terus merunduk. Kita harapkan dan mohonkan rahmat Allah supaya selama mampir di dunia ini, hidup kita benar. Semoga dengan rahmat-Nya Itu, kita bisa selamat saat tiba waktunya untuk pulang.

KH. Abdullah Gymnastiar
23 Februari 2020

Kamis, 20 Februari 2020

Jadilah Teman Yang Baik


Saudaraku. Misalkan setelah berjuang keras menahan, akhirnya kita buang angin juga di depan orang orang. Kira-kira apa yang kita inginkan dari orang lain saat itu? Biasanya kita ingin semua yang hadir pura-pura tuli. Kita bersikap tenang walaupun nyata dentumannya.

Nah, kalau begitu, mengapa ketika ada orang Iain buang angin kita suka rewel? Seharusnya kita berlaku sebagaimana ingin diperlakukan orang. Misalnya, kalau tidak mau kesalahan kita dibeberkan, maka jangan membeberkan kesalahan orang. Kalau tidak mau dipermalukan, maka jangan berbuat sebaliknya. Kalau kita berbuat salah ingin dimaafkan, maka maafkanlah kesalahan orang lain.

Kita bisa lebih banyak berbuat baik sebab Allah sudah menanam semacam 'perangkat lunak' kebaikan pada tiap-tiap hati manusia. Kalau ada yang berbuat buruk kepada kita, itu adalah ladang pahala untuk memaafkan dan mendoakannya kebaikan.

Misalkan ada yang berhutang kepada kita dan dia tidak mau membayar. Apa kita mau sesak nafas tiap mengingatnya? Nanti bisa jadi dia makin tidak bisa membayar karena doa yang buruk. Maafkan dan doakan dia kebaikan, ”Ya Allah, bukakan pintu rezeki dan pintu hatinya, serta berikan kelapangan dan kekuatan iman baginya.”Tidak rugi berdoa begini. Bahkan Iembut wajah kita saat berdoa saja sudah amat menguntungkan bagi kita sendiri.

Jangan tanggung kalau kita mau menjadi baik. Walaupun tersembunyi tetap saja kita berbuat baik. Misalnya,”Ya Allah, mungkin dia tidak berniat menipu saya, atau mungkin dia memang penipu yang tanpa niat juga tetap menipu. Apa pun, mudah-mudahan ini tipuannya yang terakhir kali, dan jauhkan saya dari perbuatan begitu.” Kita berhati baik, berpikir baik, berbuat baik dan berdoa yang baik, karena semuanya akan kembali kepada kita.

Dari Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berdiri di samping beberapa orang yang sedang duduk, lalu beliau bersabda, "Maukah kuberitahu kepada kalian tentang orang yang paling baik dan orang yang paling buruk di antara kalian.?”
Mereka pun terdiam tidak ada yang menjawab. Lalu Nabi SAW bertanya kembali hingga tiga kali. Maka salah seorang dari mereka berkata, ”Silakan, wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami tentang orang yang paling baik dan paling buruk di antara kami.”
Rasulullah bersabda, "Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang selalu diharap-harapkan kebaikannya, dan orang lain merasa aman dari keburukannya. Sedangkan orang yang paling buruk di antara kalian adalah orang yang tidak diharapkan ada kebaikan padanya, dan orang lain tidak aman dari keburukannya.” (HR. Imam at-Tirmidzi)

Saudaraku. Orang yang baik itu mengangenkan. Baru melihatnya saja kita jadi ingat kepada Allah. Karena omongan, pikiran dan akhlaknya yang baik mengingatkan kita kepada Allah dan akhirat, serta menambah ilmu, amal, dan keyakinan kita kepada-Nya.

Dari lbnu Abbas ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya, ”Wahai Rasulullah manakah di antara kawan-kawan kami yang terbaik?” Maka beliau menjawab, ”Seseorang yang dengan melihatnya mengingatkan kalian kepada Allah, dengan perkataannya bertambah amal kebaikan kalian, dan amaI-amalnya mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Imam Abu Ya'la)

Oleh sebab itu, kalau kita mencari teman atau sahabat, carilah yang mengangenkan seperti itu. Supaya amal-amal saleh kita juga ikut bertambah. Nah, bagaimana caranya kita mendapat teman yang baik? Mulailah dari diri sendiri, yakni dengan menjadi teman yang baik bagi orang lain. Jadikan diri kita sebagai teman yang mengangenkan. Seperti dengan memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, serta tidak mengingat atau menyebut keburukan orang lain. Karena mengingat keburukan orang lain justru membikin hidup kita sendiri tidak nyaman.

KH. Abdullah Gymnastiar
19 Februari 2020

Selasa, 11 Februari 2020

Ikhlas

Salah satu kunci kebahagiaan di dalam hidup ini adalah ikhlas, dan kunci untuk mendapatkan keikhlasan adalah putus harapan dari makhluk hanya berharap kepada Alloh.

Sahabat, ada 5 tips medapatkan hati yang ikhlas :
  1.  Jangan selalu ingin diketahui semua amalan kita,
  2.  Jangan selalu ingin dilihat orang,
  3.  Jangan ingin dipuji, jangan takut dicaci,
  4.  Jangan ingin diperlakukan spesial,
  5.  Jangan ingin dibalas budi.
KH. Abdullah Gymnastiar
10 Februari 2020

Senin, 20 Januari 2020

Empat Ciri Diterimanya Tobat

Jika merujuk pendapat Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, ciri-ciri orang yang tobatnya diterima itu ada empat. Pertama, cara bicaranya lebih terjaga karena hatinya bersih dan peka. Kebersihan dan kepekaan itu menghidupkan hati dan memandu tutur kata sehingga dia tidak berani untuk berkata kasar, jorok, sombong, berbohong, dan sebagainya. Hatinya akan terus mengingatkan. 

Kedua, tidak ada dengki terhadap orang beriman. Tidak ada rasa persaingan terhadap saudara yang beriman. Dia sadar bahwa semua karunia itu Allah Ta'ala yang memberi. Dengki kepada orang beriman sama artinya tidak suka dengan perbuatan dan kehendak Allah. 

Terserah Allah ingin memberi kepintaran, kecantikan, kesehatan, rezeki, pangkat atau Jabatan kepada orang beriman lainnya. Dia akan senang dengan apapun yang diberikan kepada hamba-hamba yang beriman. Bukan sebaliknya. seperti SMS (susah melihat orang senang senang melihat orang susah). Saat teman naik haji, dia malah naik tensi. 

Ketiga, senang pada lingkungan yang baik. Hati Yang bersih dan peka akan mencari semacam frekuensi yang baik dari lingkungan sekitar. Misalkan ketika bertemu orang lain, hati kecilnya dapat merasakan nyaman atau tidaknya bersama orang itu. 

Hati bersihnya dapat merasa jika ada yang sombong, kasar, banyak bicara, atau yang suka keluyuran, nongkrong tidak jelas, dan sebagainya yang membuat hidup lelah dan tidak bermanfaat. Dia pun cenderung menghindari lingkungan-lingkungan yang tidak baik. Kelembutan hatinya membuat dia pun sulit untuk ikut menertawakan kekurangan orang lain. 

Dia sangat suka berteman dengan orang yang akhlaknya baik atau hatinya bersih. Hatinya tidak nyaman terhadap hal-hal yang duniawi semata. Dia tetap bergaul akan tetapi kepekaan hatinya membuatnya sangat hati-hati dalam pergaulan. 

Namun demikian, bukan berarti dia berniat berburuk sangka (su'udzhan) kepada orang lain. Hal ini karena setiap orang memancarkan semacam frekuensi. Adapun kepekaan hati orang yang tobatnya diterima bisa dengan mudah menangkap frekuensi itu, untuk kemudian mengarahkannya pada lingkungan yang baik. 

Keempat, dia tidak pernah berhenti bertobat. Orang yang tobatnya diterima tidak memiliki istilah, misalnya, sedang Iibur atau cuti bertobat. Dia tidak merasa sudah diampuni dosa-dosanya, lalu merencanakan perbuatan dosa yang baru dan menentukan waktu untuk bertobat kembali. 

Orang yang tobatnya diterima akan terus-menerus bertobat. Dari waktu ke waktu salat fardhu, seolah-olah di depannya ada aliran sungai yang menyejukkan. Karena salat fardhu itu benar-benar menggugurkan dosa, bahkan jatuhnya air wudhu saja sudah menggugurkan. Begitu dalam satu minggu. Dia sangat menantikan datangnya hari Jumat yang istimewa itu. Dia pun berharap umurnya bisa sampai pada Ramadan tahun depan. 

Demikianlah, orang yang tobatnya diterima itu sadar kalau sifat manusia senang berbuat dosa. Hatinya yang bersih, peka dan Iembut terus berupaya menghindarkannya dari segala hal yang tidak baik. Dia menikmati betapa nyaman dan bahagia hidup bersama Pencipta, Pemilik dan Penguasa Kehidupan, Allah Ta'ala. 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang melazimkan istighfar, niscaya Allah Ta'ala akan membebaskannya dari segala kesusahan dan kesedihan, serta melapangkannya dari setiap kesempitan dan akan mengaruniakan kepadanya rezeki dari jalan yang tidak terduga.” 
(HR Abu Daud)

KH. Abdullah Gymnastiar 
19 Januari 2020

Sabtu, 04 Januari 2020

Ucapan ”Seandainya" Ketika Mendapati Musibah

Dari Abu Hurairah ra bahwa RasuluIlah SAW. bersabda, ”Mukmin yang kuat Iebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah, namun keduanya memiliki kebaikan. Berlombalah untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah.
Jika engkau terkena sesuatu musibah, jangan berkata 'Seandainya aku mengerjakan begini, tentu akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah,' ini adalah takdir Allah. Dan siapa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi’. Karena sesungguhnya ucapan ’seandainya’ membuka pintu masuknya godaan setan."
(HR. Imam Muslim).

Ucapan ”seandainya” hanya akan menambah kerumitan yang dihadapi. Kita bisa ribut dan saling menyalahkan. Apapun kejadian yang tidak diingini harus menerimanya ucapan,"ini adalah takdir-Nya".

Ya, kita harus menerimanya dengan ridha karena tidak menerima pun tetap terjadi. Umpamanya sebuah genteng Jatuh dan mengenai jidat. Kita tidak bisa mengeIuh, “Saya tidak terima". Bukankah tanda terimanya sudah Jelas, yaitu benjol atau luka di kepala yang bisa dilihat orang-orang. Begitu dengan tangan yang melepuh tadi, dan Iain-Iain. Itu sudah takdir Allah Ta’ala. Jalani semuanya tanpa kata "seandainya”.

Kemudian, jangan berhenti hanya pada menerima saja. Seperti pepatah “nasi sudah jadi bubur", kita memang harus menerima dan ridha terhadap bubur tersebut.Tetapi bukan berarti buburnya mesti dibuang. Carilah bahan dan bumbu Iainnya sehingga menjadi bubur ayam spesial.

Begitu pula dengan, misalnya, mobil penyok. Kita tidak perlu meributkan bagian yang penyok itu. Lihat dan syukurilah bagian yang masih bagus sambil memperbaiki yang rusak di bengkel. Boleh jadi, inilah cara Allah untuk memberikan rezeki kepada tukang bengkel. Ambillah pelajaran atau hikmah dari setiap kejadian.

Allah, Dialah Zat Yang Maha Menentukan. Kita yakin saja kepada-Nya dalam segala hal. Kita yakin bahwa tidak akan pernah ada yang tertukar. Apa yang Allah tetapkan untuk kita, pasti bertemu atau terjadi. Begitu Sebaliknya. Baik rezeki, jodoh, dan semuanya. Apa pun itu, sekali pun keberadaannya tampak jauh dari kita, jika Dia menghendaki, pasti akan datang menghampiri.

Di sini termasuk pula kemuliaan. Kemuliaan bukan berasal dari pujian orang-orang. kemuliaan adalah pemberian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba yang pantas menerimanya, yaitu mereka yang bertakwa. 0rang yang bertakwa adalah orang yang tauhidnya paling bersih. Dia yakin sepenuhnya kepada Allah. Dia patuh dan pasrah kepada-Nya. Semakin yakin kita kepada Allah, kepatuhan dan kepasrahan pun akan terhujam di dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Orang yang bertakwa dan tauhidnya kokoh, dia pasti yakin bahwa tidak ada sesuatu pun yang tertukar dia akan mudah menerima, menjalani, dan menghadapi takdir. Pikirannya positif dan sanggup mengambil hikmah sehingga episode-episode kehidupan berikutnya bisa dijalani dengan baik.

Dari Abu Darda ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Bagi segala sesuatu ada hakikatnya. Dan seorang hamba Allah tidak akan dapat mencapai hakikat iman sehingga dia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset atau terlepas darinya. Dan apa yang terlepas darinya tidak akan dapat menimpanya.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Namun tentu saja, ilmu yakin ini bukan berarti memperbolehkan pengabaian syariat. Rezeki misalnya dia sudah diatur oleh Allah, tetapi kita jangan diam saja.

Kita tetap harus bergerak dan berupaya dengan cara yang baik dan halal. Adapun setelah berusaha ke sana-sini masih belum bertemu, kita harus tetap tenang karena Dia Maha Melihat.

Demikian pula saat di perjalanan, sabuk pengaman dan helm tetap harus dipakai karena Allah Ta’ala sudah menakdirkan keduanya ada. Dan, aturannya pun mengharuskan kita untuk memakainya. Bagaimana kalau tetap celaka juga? Celaka atau tidak adalah takdir dari Allah, itu jelas. Ada hal-hal tertentu yang berada di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Maka,tugas kita adalah berusaha menyempurnakan syariat sebagai amal saleh kita. Sekali pun nanti takdirnya celaka, amal saleh itu sudah dicatat di sisi-Nya. *

“Bagi segala sesuatu ada hakikatnya Dan seorang hamba Allah tidak akan dapat mencapai hakikat iman sehingga dia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset atau terlepas darinya. Dan apa yang terlepas darinya tidak akan dapat menimpanya.”
(HR. Ahmad dan ath-Thabrani)

KH. Abdullah Gymnastiar
3 Januari 2020

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ุฃَูƒْู…َู„ُ ุงู„ู…ُุคْู…ِู†ِูŠู†َ ุฅِูŠู…َุงู†ًุง ุฃَุญْุณَู†ُู‡ُู…ْ ...