Minggu, 26 Maret 2017

Sudah Benarkah Shalatku

WUDLU adalah bentuk taharah (bersuci) untuk menghilangkan hadas kecil de­ngan mencuci dan mengusap sebagi­an anggota badan berdasarkan contoh­­­ Rasulullah Saw. Wudlu diperintahkan ketika akan melaksanakan salat. Allah Swt. berfirman, 
“Hai, orang-orang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan salat, basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, sapulah kepalamu dan basuh kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki...” (Q.S. Al-Mā’idah [5]: 6)
Berdasarkan ayat tersebut, sebagian ahli membagi wudlu menjadi dua bagian; wajib dan sunah. Bagian yang wajib adalah tata cara wudlu yang mesti dilaksanakan saat berwudlu. Bila seseorang tidak melaksanakan salah satu saja tata cara berwudlu, wudlunya tidak sah.

Wudlu tidak sekadar syarat sahnya salat, tetapi wudlu juga bisa membersihkan dosa-dosa kecil yang mengotori rohani kita. Perhatikan keterangan berikut.

Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila seorang hamba berwudlu saat berkumur-kumur, akan keluar dosa-dosa (kecil) dari mulutnya; apabila menghirup dan mengembuskan air dari hidungnya, keluarlah dosa-dosa (kecil) dari hidungnya; apabila membasuh wajah, keluarlah dosa-dosa (kecil) dari wajahnya hingga keluar dari kelopak matanya; apabila membasuh kedua tangan, keluarlah dosa-dosa (kecil) dari kedua tangannya hingga dari kukunya; apabila mengusap kepala, keluarlah dosa-dosa (kecil) dari kepalanya hingga keluar dari kedua telinganya; dan apabila membasuh kedua kaki, keluarlah dosa-dosa (kecil) dari kakinya hingga dari kukunya, kemudian berjalan ke masjid dan salat sunah (juga penghapus dosa)” (H.R. Malik, Nasa’i, Ibn Majah, dan Hakim dari Abdullah Shana Yahya r.a).

Hal yang membatalkan wudlu dalam istilah fikih disebut hadas kecil. Wudlu diwajibkan bagi orang yang mempunyai hadas kecil. Berdasarkan beberapa dalil Al-Qur’an dan hadis, ada tiga hal yang disepakati para ahli yang bisa membatalkan wudlu, yaitu:

1. Buang Air Besar dan Buang Air Kecil
Alasan ini tercantum dalam firman Allah Swt., 
“(yang membatalkan wudlu adalah) … atau kembali dari tempat buang air (kakus)…” (Q.S. Al-Mā’idah [5]: 6). 
Tempat buang air atau kakus merupakan ungkapan majazi atau kiasan untuk buang air besar atau kecil.

2. Buang Angin
Hal yang menjadi landasannya adalah riwayat berikut. Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak akan diterima salat orang yang berhadas se­hingga dia berwudlu.” Salah seorang dari Hadramaut bertanya, “Apa hadas itu ya Abu Hurairah?” Dia menjawab, “Kentut yang ti­dak bersuara atau kentut bersuara” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.).

3. Keluar Madzi
Madzi adalah cairan berwarna putih yang keluar dari kemaluan pria ataupun wanita ketika ada dorongan syahwat. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Aku adalah laki-laki yang sering keluar madzi, maka aku menyuruh Miqdad bin Aswad untuk menanyakannya kepada Rasulullah. Kemudian, Miqdad menanyakannya, maka jawab Rasulullah, hendaklah dia berwudlu” (H.R. Bukhari).

Keterangan itu menegaskan bahwa keluar madzi menyebabkan batalnya wudlu karena Rasulullah Saw. memerintahkan Ali untuk berwudlu. Hal ini dikuatkan lagi oleh keterangan berikut. “Apabila keluar mani, wajib mandi. Keluar madzi atau wadzi, maka Nabi Saw. pernah bersabda, ‘Cucilah kemaluanmu dan berwudlulah!’” (H.R. Baihaqi dari Ibn Abbas r.a.)

Jika akan bertemu dan berbicara dengan orang yang dihormati, kita berusaha menjaga penampilan agar rapi, bersih, dan harum. Persiapan salat harus lebih baik daripada itu karena salat adalah komunikasi antara hamba dan Allah Swt. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw. mewajibkan umatnya membersihkan diri atau bersuci dari najis, berwudlu, ataupun mandi besar saat akan melaksanakan salat.

Menghadap kiblat dalam salat merupakan syarat sahnya salat. Kiblat adalah arah Baitullah atau Masjidil Haram. Firman-Nya, 
“....hadapkanlah wajahmu ke arah Masjidilharam...” (Q.S. Al Baqarah [2]: 144). 
Rasulullah bersabda, “Apabila kamu akan mendirikan salat, sempurnakanlah wudlu dan menghadaplah ke kiblat” (H.R. Bukhari).

Kiblat adalah titik yang menyatukan arah segenap umat Islam dalam melaksanakan salat, tetapi titik arah itu bukanlah objek yang disembah. Objek yang dituju dalam melaksanakan salat hanyalah Allah Swt. Jadi, kita bukan menyembah Ka’bah, melainkan menyembah Allah Swt. Fungsi Ka’bah atau arah kiblat hanya menjadi titik kesatuan arah dalam salat.

Apabila situasi tidak memungkinkan untuk menghadap kiblat, kita diperbolehkan salat tanpa menghadap ke arahnya. Misalnya, orang sakit yang salat sambil berbaring, tunanetra yang tidak tahu arah kiblat dan tidak ada yang mengarahkannya, seseorang yang berada di daerah asing (luar negeri) yang mayoritas penduduknya non-Muslim. Allah Swt. berfirman, 
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan ukuran kesanggupannya...” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 286). 
Rasulullah Saw. bersabda, “Apabila aku memerintahkan sesuatu, kerjakanlah sesuai kadar kemampuanmu ...” (H.R. Muslim)

Apabila naik kendaraan umum, misalnya pesawat, kereta api, bus, dan yang lainnya, kita diperbolehkan salat di kendaraan tanpa harus menghadap kiblat. Ibnu Umar r.a. berkata, “Sesungguhnya Rasulullah Saw. salat di atas kendaraan sesuai arah kendaraan tersebut” (H.R. Muslim). Namun, kalau membawa kendaraan pribadi, alangkah baiknya kita berhenti di masjid agar bisa salat menghadap kiblat.

Kriteria ideal imam salat adalah:
a. Paling hafal dan paham Al-Qur’an
b. Paling paham sunah Rasul
c. Paling dulu hijrahnya
d. Paling dulu Islamnya
e. Paling senior umurnya

Bolehkah anak yang belum balig menjadi imam salat?
Apabila tidak ada orang dewasa yang hendak mengimami salat, boleh mengangkat imam dari kalangan anak-anak dengan syarat dia memiliki kemampuan bacaan Al-Qur’an yang bagus dan banyak hafalannya. Rasulullah Saw. bersabda, “‘Apabila hadir waktu salat, hendaklah salah seorang di antara kamu azan dan angkatlah imam yang paling hafal Al-Qur’an.’ Seorang sahabat berkata, ‘Maka mereka melihat tidak ada seorang pun yang paling hafal Al-Qur’an daripada aku, maka mereka menyuruhku menjadi imam padahal aku anak berusia enam atau tujuh tahun’” (H.R. Bukhari). Hadis ini menegaskan bahwa anak yang belum balig boleh menjadi imam salat asal dia sudah hafal beberapa surat dan bacaan Al-Qur’annya sudah bagus.

Bagaimana kalau kita bermakmum pada imam yang suka berbuat maksiat, apakah akan mengurangi nilai pahala makmum? Rasulullah Saw. bersabda, “Mereka (imam) salat untuk kamu. Jika mereka benar, bisa menjadi kesempurnaan bagimu, tetapi jika mereka salah, kamu akan mendapat pahala kesempurnaan salat, namun kesalahan bagi imam” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah r.a.).

Hadis ini menegaskan, sebaiknya kita memilih imam yang ideal dan saleh. Namun, kalau diimami oleh ahli maksiat, kita akan tetap mendapatkan pahala berjamaah dan dosa itu ditanggung oleh pribadi imam. Imam Hasan pernah ditanya tentang bermakmum pada ahli bid‘ah (maksiat), beliau menjawab, “Shalatlah bersamanya, dan bid‘ahnya (maksiatnya) adalah tanggungannya.” Yang jelas, kita jangan mengikuti perilaku bid‘ah (maksiat)-nya.

Aam Amiruddin
23 - 24 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ ...