Minggu, 26 Desember 2021

Meyakini Kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Dari Abu Bakar ash-Shiddiq, beliau berkata, “Aku melihat tapak kaki kaum musyrikin ketika kami bersembunyi di dalam gua, dan orang-orang tersebut tepat di atas kepala kami. Lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah, andaikata seseorang dari mereka itu melihat ke bawah kakinya maka pasti mereka akan melihat tempat kita ini. ‘ Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda ‘ Wahai Abu Bakar, apakah engkau mengira bahwa kita hanya berdua? Allah adalah yang ketiga dari kita ini.”

HR. Imam Bukhari dan Muslim



Nah, saudaraku. Kalau kita misalnya menyebut Allah sebagai “yang ketiga”, seperti pada hadis tersebut, maka jangan membayangkan kita menjadi bertiga dengan Alloh dalam bentuk sebagaimana kita sehari-hari. Karena Allahu Ahad itu bukan berarti angka ‘satu’ dalam bilangan kita.

Kalau angka satu bilangan kita dapat ditemui dari mana saja. Misalnya setengah ditambah setengah, dua dikurang satu, sepertiga dikali tiga atau dua dibagi dua. Satunya kita bisa penjumlahan, pengurangan, pengalian dan pembagian. Tapi Allahu Ahad tidak bisa dari sisi mana pun.

Allahu Ahad berbeda dengan “satu”-nya kita. Maksudnya, Allah tidak harus wujud. Seperti sekarang saudara sedang membaca tulisan ini, Allah pasti hadir dan menyaksikan. Misalkan saat membaca tulisan ini saudara sendirian, maka saudara bisa menyebut Allah sebagai “yang kedua”. Saudara sedang berdua dengan Allah.

Tidak sulit bagi kita meyakini sesuatu yang tidak terlihat. Seperti udara dan gaya gravitasi, kita meyakininya ada meski tidak tampak. Sama dengan elektron, proton, atau listrik juga tidak tampak, mungkin baru terlihat ketika ada yang salah pegang kabel.

Untuk lebih jelasnya, saya akan menyampaikan sebuah kisah yang sudah sering diceritakan. Bagi saudara yang mungkin masih ingat, tidak ada salahnya membaca lagi supaya kita tidak mudah lupa tentang kehadiran Allah.

Suatu ketika ada seseorang yang terpelajar secara duniawi bertanya tiga hal kepada orang-orang. Pertama, tentang bukti kehadiran Allah. Kedua, tentang apa sebetulnya takdir.

ketiga, tentang setan yang dicipta dari api dan dimasukkan ke neraka yang api juga, yang dianggapnya sebagai lelucon.

Setiap orang yang ditanyainya tidak ada yang bisa menjawab. Sampai kemudian ada seseorang yang berkata padanya agar dia pergi menemui seorang alim di sebuah kampung, “Insya Allah, beliau bisa memberi jawaban yang memuaskan Anda.” Tapi orang yang terpelajar duniawi menganggap nasehat itu sebagai lelucon tambahan. “Orang kota saja nggak bisa jawab, apalagi orang kampung.” Katanya. “Dicoba saja dulu,” jawab seseorang tadi meyakinkannya.

Singkat cerita, sampailah dia di kampung dan bertemu orang alim yang dimaksud. Dia langsung bertanya, “Kakek, setiap yang ada itu harus ada buktinya. Kalau Tuhan ada buktinya? Lalu apa itu takdir? Jangan-jangan cuma alasan atau dalih saja karena nggak berani menerima kenyataan. Dan, katanya setan dibuat dari api, tapi mengapa dimasukkan ke neraka yang api juga? kan, api dengan api ngga berasa. Bagaimana, kek?”
Kakek alim berkata, “mendekat kesini, nak.” Plakk…

Orang yang terpelajar duniawi itu ditempeleng. “Kakek! Kalau ngga bisa jawab, jangan emosi dong!” teriaknya kesakitan. “Maafkan saya, nak. Itu bukan menempeleng, tapi itulah jawabannya.” Tapi dia masih tidak terima, “Jawaban bagaimana, kek? Sakit ini!”

“Benar sakit?” tanya kakek. “Sumpah, sakit banget, kek!” Lalu kakek itu bertanya lagi, “engkau yakin sakit itu ada?” “Yakin, kek!” Kakek itu kembali berkata, “Baiklah, kalau benar sakit itu ada, coba tunjukkan atau gambarkan saja seperti apa sakit itu?” Orang yang terpelajar mulai kebingungan, “Ya, pokoknya ada.”

Itulah bukti bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu ada, tapi tidak bisa ditunjukkan atau digambarkan tapi bisa dirasakan bagi yang yakin kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

“Baiklah,” lanjut kakek itu, “Apa sebelum itu engkau pernah bermimpi ditempeleng?” “Tidak,” jawabannya. “Apa engkau merencanakan ditempeleng?” Tanya kakek lagi. “Sama sekali tidak.” Atau, “Mungkin engkau punya cita-cita ditempeleng?” “Amit-amit, nggalah kek.” Maka,”itulah takdir,” jelas kakek alim.

Lalu, “Ini apa?” kakek menunjuk telapak tangannya, “kulit.” Dan, “Di pipimu itu apa?” Kulit,” jawabanya lagi. “Jadi, saat kulit bertemu dengan kulit tadi bagaimana?” “Sakit , Kakek, Ujarnya yang masih kesakitan. Begitulah ketika setan dimasukan ke neraka.

Nah Saudaraku. Kita harus yakin bahwa Allah selalu Hadir, Menyaksikan, Mengawasi dan Menjaga kita. Jangan sampai kita merasa bahwa Alloh tidak ada dan tidak melihat, karena baik kita berbua baik ataupun buruk, Allah Subhanahu Wa ta’ala pasti tahu.

KH. Abdullah Gymnastiar
24 Desember 2021

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, أَكْمَلُ المُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ ...