Senin, 24 Februari 2020

Gelar, Ilmu dan Rahmat Allah

Saudaraku. Biasanya ketika ada mahasiswa bertemu dengan yang tidak kuliah, misalnya anak SMA atau SMP, dia mudah merasa dirinya lebih hebat. Padahal, bisa jadi anak SMA atau SMP yang ditemuinya itu orangnya jujur, dan tidak pernah mencontek seperti yang sering dilakukannya di kampus. 

Jadi, misalkan saudara memiliki gelar, bersyukurlah atas takdir Allah yang baik itu. Tapi tidak usah merasa mulia dengan gelar, sehingga jika tidak disebut saudara menjadi tersinggung atau terhina. Karena kemuliaan tidak diukur oleh gelar, tapi dengan ketakwaan. 

Kalau penyebutan gelar hanya membuat hati menjadi kotor, lebih baik tidak usah disebutkan. Kecuali jika tempatnya mengharuskan, sebutlah yang proporsional saja. Seperti ketika berada dalam sebuah forum. Kalau ditanyakan tentang pendidikan kita, cukup dijawab misalnya, ”Saya S-3.” Tidak usah ditambah lagi kalimatnya dengan, ”Anda belum tahu ya?" Tidak perlu! Karena gelar hanyalah topeng dunia. 

Atau, gelarnya mungkin tidak disebut, tapi bangganya lewat kata-kata. Misalkan menjelang lebaran ditelepon teman dari kampung, ”Kang, lebaran ini pulang?” Lalu dijawab, ”You pikir dong.” Kata temannya, ”Saya Cecep bukan Yuyuk.” ketika bertemu lebaran dikatakan lagi,"You paham? Di dalam fluktuasi globalisasi yang tersentralisir dengan status ekonomi yang heterogen.” Temannya langsung bingung. 

Nah, saudaraku. Gelar itu tidak salah. S-1, S-2, S-3, atau apa pun. Dikarenakan ilmu sama dengan harta, yakni netral. Yang tidak netral adalah merasa diri atau kotornya hati dengan gelar yang dipegang. Sehingga bukan berarti tidak boleh kuliah, saudara jangan salah paham. 

Masing-masing kita punya garis takdir. Misalnya ada yang bagiannya menjadi kaya, ada yang sedang, demikian juga ada yang kuliah dan ada yang tidak. Yang penting ketika mendapatkan takdirnya kita tetap merunduk. Jangan ujub, sombong, dan pamer! Kuliah bukanlah segaIa-galanya. Surga tidak ditentukan oleh kampus atau gelar. Kita semuanya hamba Allah.Teruslah merunduk. 

”Ada tiga hal yang merusak akhlak, jiwa, dan agama. Yaitu, pertama, kikir yang diikuti, kedua, nafsu yang diperturutkan, dan yang ketiga adalah ujub, heran kepada diri sendiri.” 
(HR. Thabrani) 

Pastinya orang berilmu yang merunduk itu lebih disukai Allah daripada yang ujub. Orang lain juga akan nyaman bergaul dengan yang berilmu dan tetap merunduk. Tinggi, luas maupun sedang ilmu yang dimiliki, yang penting kita terus memohon supaya dirahmati Allah. 

Orang yang dirahmati Allah, makin tinggi ilmunya akan makin merunduk. Seperti sering bertafakur. ”Ya Allah, hanya Engkau yang membuat saya bisa kuliah. Jika Engkau takdirkan saya jadi kambing, baru di depan kampus saja sudah diusir. Engkau takdirkan otak saya normal. Jika Engkau kurangi dua sendok saja sudah tidak bisa berpikir. Engkau takdirkan badan saya sehat dan dimudahkan saat ulangan. Jika Engkau mau, saat itu mudah saja bagi-Mu menakdirkan saya muntaber. Ya Allah, semuanya ini hanya rahmat dan fadhilah-Mu.” 

Hal ini bukan hanya untuk ilmu umum,tapi termasuk pula ilmu agama. Misalkan saudara lulusan perguruan tinggi agama, kalau tidak hati-hati gelar sarjananya bisa menjadi hijab tersendiri. Karena yang belajar ilmu agama belum tentu menjadi dekat dengan Allah, jika tujuannya bukan Allah. 

Misalkan ada yang ditanya tentang tujuan kuliah di perguruan tinggi agama, berkata, "Saya harus jadi sarjana agama, setelah itu harus jadi PNS. Ya, target saya di KUA.” Repot yang begini. KUA itu netral dan tidak salah, Tapi mengapa menjadikan PNS dan KUA sebagai tujuan hidup? Cukuplah Allah yang dituju, dan mohonkanlah rahmat-Nya. 

Atau misalkan di pengajian ada santri yang tersinggung, karena pisang goreng yang sudah diintainya diambil lebih dulu oleh santri lain. ”Ini orang, hafalan saya empat juz, kamu baru satu juz. Ke sinikan pisang gorengnya!” Tidak ada kaitannya hafalan dan pisang goreng. Jangan merasa mulia, spesial atau ujub dengan hafalan. 

Tentunya, dalam berdakwah juga harus berhati-hati. Seperti jangan merasa mulia dan hebat, karena sering diundang misalnya di kantor-kantor pemerintah. Lalu. menganggap rendah pendakwah di kampung yang pendengarnya lebih sederhana dan bawaannya ubi. Karena tempat berdakwah itu sama sekali bukan penentu naiknya derajat kita di sisi Allah. 

Nah, saudaraku. Gelar hanyalah topeng dunia, dan Ilmu Itu netral seperti harta. Dengan ilmu yang telah dikaruniai Allah, mari kita terus merunduk. Kita harapkan dan mohonkan rahmat Allah supaya selama mampir di dunia ini, hidup kita benar. Semoga dengan rahmat-Nya Itu, kita bisa selamat saat tiba waktunya untuk pulang.

KH. Abdullah Gymnastiar
23 Februari 2020

Kamis, 20 Februari 2020

Jadilah Teman Yang Baik


Saudaraku. Misalkan setelah berjuang keras menahan, akhirnya kita buang angin juga di depan orang orang. Kira-kira apa yang kita inginkan dari orang lain saat itu? Biasanya kita ingin semua yang hadir pura-pura tuli. Kita bersikap tenang walaupun nyata dentumannya.

Nah, kalau begitu, mengapa ketika ada orang Iain buang angin kita suka rewel? Seharusnya kita berlaku sebagaimana ingin diperlakukan orang. Misalnya, kalau tidak mau kesalahan kita dibeberkan, maka jangan membeberkan kesalahan orang. Kalau tidak mau dipermalukan, maka jangan berbuat sebaliknya. Kalau kita berbuat salah ingin dimaafkan, maka maafkanlah kesalahan orang lain.

Kita bisa lebih banyak berbuat baik sebab Allah sudah menanam semacam 'perangkat lunak' kebaikan pada tiap-tiap hati manusia. Kalau ada yang berbuat buruk kepada kita, itu adalah ladang pahala untuk memaafkan dan mendoakannya kebaikan.

Misalkan ada yang berhutang kepada kita dan dia tidak mau membayar. Apa kita mau sesak nafas tiap mengingatnya? Nanti bisa jadi dia makin tidak bisa membayar karena doa yang buruk. Maafkan dan doakan dia kebaikan, ”Ya Allah, bukakan pintu rezeki dan pintu hatinya, serta berikan kelapangan dan kekuatan iman baginya.”Tidak rugi berdoa begini. Bahkan Iembut wajah kita saat berdoa saja sudah amat menguntungkan bagi kita sendiri.

Jangan tanggung kalau kita mau menjadi baik. Walaupun tersembunyi tetap saja kita berbuat baik. Misalnya,”Ya Allah, mungkin dia tidak berniat menipu saya, atau mungkin dia memang penipu yang tanpa niat juga tetap menipu. Apa pun, mudah-mudahan ini tipuannya yang terakhir kali, dan jauhkan saya dari perbuatan begitu.” Kita berhati baik, berpikir baik, berbuat baik dan berdoa yang baik, karena semuanya akan kembali kepada kita.

Dari Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berdiri di samping beberapa orang yang sedang duduk, lalu beliau bersabda, "Maukah kuberitahu kepada kalian tentang orang yang paling baik dan orang yang paling buruk di antara kalian.?”
Mereka pun terdiam tidak ada yang menjawab. Lalu Nabi SAW bertanya kembali hingga tiga kali. Maka salah seorang dari mereka berkata, ”Silakan, wahai Rasulullah, beritahukan kepada kami tentang orang yang paling baik dan paling buruk di antara kami.”
Rasulullah bersabda, "Yang terbaik di antara kalian adalah orang yang selalu diharap-harapkan kebaikannya, dan orang lain merasa aman dari keburukannya. Sedangkan orang yang paling buruk di antara kalian adalah orang yang tidak diharapkan ada kebaikan padanya, dan orang lain tidak aman dari keburukannya.” (HR. Imam at-Tirmidzi)

Saudaraku. Orang yang baik itu mengangenkan. Baru melihatnya saja kita jadi ingat kepada Allah. Karena omongan, pikiran dan akhlaknya yang baik mengingatkan kita kepada Allah dan akhirat, serta menambah ilmu, amal, dan keyakinan kita kepada-Nya.

Dari lbnu Abbas ra menceritakan bahwa Rasulullah SAW pernah ditanya, ”Wahai Rasulullah manakah di antara kawan-kawan kami yang terbaik?” Maka beliau menjawab, ”Seseorang yang dengan melihatnya mengingatkan kalian kepada Allah, dengan perkataannya bertambah amal kebaikan kalian, dan amaI-amalnya mengingatkan kalian kepada akhirat.” (HR. Imam Abu Ya'la)

Oleh sebab itu, kalau kita mencari teman atau sahabat, carilah yang mengangenkan seperti itu. Supaya amal-amal saleh kita juga ikut bertambah. Nah, bagaimana caranya kita mendapat teman yang baik? Mulailah dari diri sendiri, yakni dengan menjadi teman yang baik bagi orang lain. Jadikan diri kita sebagai teman yang mengangenkan. Seperti dengan memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan, serta tidak mengingat atau menyebut keburukan orang lain. Karena mengingat keburukan orang lain justru membikin hidup kita sendiri tidak nyaman.

KH. Abdullah Gymnastiar
19 Februari 2020

Selasa, 11 Februari 2020

Ikhlas

Salah satu kunci kebahagiaan di dalam hidup ini adalah ikhlas, dan kunci untuk mendapatkan keikhlasan adalah putus harapan dari makhluk hanya berharap kepada Alloh.

Sahabat, ada 5 tips medapatkan hati yang ikhlas :
  1.  Jangan selalu ingin diketahui semua amalan kita,
  2.  Jangan selalu ingin dilihat orang,
  3.  Jangan ingin dipuji, jangan takut dicaci,
  4.  Jangan ingin diperlakukan spesial,
  5.  Jangan ingin dibalas budi.
KH. Abdullah Gymnastiar
10 Februari 2020

Senin, 20 Januari 2020

Empat Ciri Diterimanya Tobat

Jika merujuk pendapat Syeikh Abdul Qadir al-Jailani, ciri-ciri orang yang tobatnya diterima itu ada empat. Pertama, cara bicaranya lebih terjaga karena hatinya bersih dan peka. Kebersihan dan kepekaan itu menghidupkan hati dan memandu tutur kata sehingga dia tidak berani untuk berkata kasar, jorok, sombong, berbohong, dan sebagainya. Hatinya akan terus mengingatkan. 

Kedua, tidak ada dengki terhadap orang beriman. Tidak ada rasa persaingan terhadap saudara yang beriman. Dia sadar bahwa semua karunia itu Allah Ta'ala yang memberi. Dengki kepada orang beriman sama artinya tidak suka dengan perbuatan dan kehendak Allah. 

Terserah Allah ingin memberi kepintaran, kecantikan, kesehatan, rezeki, pangkat atau Jabatan kepada orang beriman lainnya. Dia akan senang dengan apapun yang diberikan kepada hamba-hamba yang beriman. Bukan sebaliknya. seperti SMS (susah melihat orang senang senang melihat orang susah). Saat teman naik haji, dia malah naik tensi. 

Ketiga, senang pada lingkungan yang baik. Hati Yang bersih dan peka akan mencari semacam frekuensi yang baik dari lingkungan sekitar. Misalkan ketika bertemu orang lain, hati kecilnya dapat merasakan nyaman atau tidaknya bersama orang itu. 

Hati bersihnya dapat merasa jika ada yang sombong, kasar, banyak bicara, atau yang suka keluyuran, nongkrong tidak jelas, dan sebagainya yang membuat hidup lelah dan tidak bermanfaat. Dia pun cenderung menghindari lingkungan-lingkungan yang tidak baik. Kelembutan hatinya membuat dia pun sulit untuk ikut menertawakan kekurangan orang lain. 

Dia sangat suka berteman dengan orang yang akhlaknya baik atau hatinya bersih. Hatinya tidak nyaman terhadap hal-hal yang duniawi semata. Dia tetap bergaul akan tetapi kepekaan hatinya membuatnya sangat hati-hati dalam pergaulan. 

Namun demikian, bukan berarti dia berniat berburuk sangka (su'udzhan) kepada orang lain. Hal ini karena setiap orang memancarkan semacam frekuensi. Adapun kepekaan hati orang yang tobatnya diterima bisa dengan mudah menangkap frekuensi itu, untuk kemudian mengarahkannya pada lingkungan yang baik. 

Keempat, dia tidak pernah berhenti bertobat. Orang yang tobatnya diterima tidak memiliki istilah, misalnya, sedang Iibur atau cuti bertobat. Dia tidak merasa sudah diampuni dosa-dosanya, lalu merencanakan perbuatan dosa yang baru dan menentukan waktu untuk bertobat kembali. 

Orang yang tobatnya diterima akan terus-menerus bertobat. Dari waktu ke waktu salat fardhu, seolah-olah di depannya ada aliran sungai yang menyejukkan. Karena salat fardhu itu benar-benar menggugurkan dosa, bahkan jatuhnya air wudhu saja sudah menggugurkan. Begitu dalam satu minggu. Dia sangat menantikan datangnya hari Jumat yang istimewa itu. Dia pun berharap umurnya bisa sampai pada Ramadan tahun depan. 

Demikianlah, orang yang tobatnya diterima itu sadar kalau sifat manusia senang berbuat dosa. Hatinya yang bersih, peka dan Iembut terus berupaya menghindarkannya dari segala hal yang tidak baik. Dia menikmati betapa nyaman dan bahagia hidup bersama Pencipta, Pemilik dan Penguasa Kehidupan, Allah Ta'ala. 

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Siapa yang melazimkan istighfar, niscaya Allah Ta'ala akan membebaskannya dari segala kesusahan dan kesedihan, serta melapangkannya dari setiap kesempitan dan akan mengaruniakan kepadanya rezeki dari jalan yang tidak terduga.” 
(HR Abu Daud)

KH. Abdullah Gymnastiar 
19 Januari 2020

Sabtu, 04 Januari 2020

Ucapan ”Seandainya" Ketika Mendapati Musibah

Dari Abu Hurairah ra bahwa RasuluIlah SAW. bersabda, ”Mukmin yang kuat Iebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada Mukmin yang lemah, namun keduanya memiliki kebaikan. Berlombalah untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirimu. Mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah merasa lemah.
Jika engkau terkena sesuatu musibah, jangan berkata 'Seandainya aku mengerjakan begini, tentu akan menjadi begini dan begitu’. Tetapi katakanlah,' ini adalah takdir Allah. Dan siapa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa saja yang dikehendaki-Nya pasti terjadi’. Karena sesungguhnya ucapan ’seandainya’ membuka pintu masuknya godaan setan."
(HR. Imam Muslim).

Ucapan ”seandainya” hanya akan menambah kerumitan yang dihadapi. Kita bisa ribut dan saling menyalahkan. Apapun kejadian yang tidak diingini harus menerimanya ucapan,"ini adalah takdir-Nya".

Ya, kita harus menerimanya dengan ridha karena tidak menerima pun tetap terjadi. Umpamanya sebuah genteng Jatuh dan mengenai jidat. Kita tidak bisa mengeIuh, “Saya tidak terima". Bukankah tanda terimanya sudah Jelas, yaitu benjol atau luka di kepala yang bisa dilihat orang-orang. Begitu dengan tangan yang melepuh tadi, dan Iain-Iain. Itu sudah takdir Allah Ta’ala. Jalani semuanya tanpa kata "seandainya”.

Kemudian, jangan berhenti hanya pada menerima saja. Seperti pepatah “nasi sudah jadi bubur", kita memang harus menerima dan ridha terhadap bubur tersebut.Tetapi bukan berarti buburnya mesti dibuang. Carilah bahan dan bumbu Iainnya sehingga menjadi bubur ayam spesial.

Begitu pula dengan, misalnya, mobil penyok. Kita tidak perlu meributkan bagian yang penyok itu. Lihat dan syukurilah bagian yang masih bagus sambil memperbaiki yang rusak di bengkel. Boleh jadi, inilah cara Allah untuk memberikan rezeki kepada tukang bengkel. Ambillah pelajaran atau hikmah dari setiap kejadian.

Allah, Dialah Zat Yang Maha Menentukan. Kita yakin saja kepada-Nya dalam segala hal. Kita yakin bahwa tidak akan pernah ada yang tertukar. Apa yang Allah tetapkan untuk kita, pasti bertemu atau terjadi. Begitu Sebaliknya. Baik rezeki, jodoh, dan semuanya. Apa pun itu, sekali pun keberadaannya tampak jauh dari kita, jika Dia menghendaki, pasti akan datang menghampiri.

Di sini termasuk pula kemuliaan. Kemuliaan bukan berasal dari pujian orang-orang. kemuliaan adalah pemberian dari Allah Ta’ala kepada hamba-hamba yang pantas menerimanya, yaitu mereka yang bertakwa. 0rang yang bertakwa adalah orang yang tauhidnya paling bersih. Dia yakin sepenuhnya kepada Allah. Dia patuh dan pasrah kepada-Nya. Semakin yakin kita kepada Allah, kepatuhan dan kepasrahan pun akan terhujam di dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.

Orang yang bertakwa dan tauhidnya kokoh, dia pasti yakin bahwa tidak ada sesuatu pun yang tertukar dia akan mudah menerima, menjalani, dan menghadapi takdir. Pikirannya positif dan sanggup mengambil hikmah sehingga episode-episode kehidupan berikutnya bisa dijalani dengan baik.

Dari Abu Darda ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda ”Bagi segala sesuatu ada hakikatnya. Dan seorang hamba Allah tidak akan dapat mencapai hakikat iman sehingga dia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset atau terlepas darinya. Dan apa yang terlepas darinya tidak akan dapat menimpanya.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

Namun tentu saja, ilmu yakin ini bukan berarti memperbolehkan pengabaian syariat. Rezeki misalnya dia sudah diatur oleh Allah, tetapi kita jangan diam saja.

Kita tetap harus bergerak dan berupaya dengan cara yang baik dan halal. Adapun setelah berusaha ke sana-sini masih belum bertemu, kita harus tetap tenang karena Dia Maha Melihat.

Demikian pula saat di perjalanan, sabuk pengaman dan helm tetap harus dipakai karena Allah Ta’ala sudah menakdirkan keduanya ada. Dan, aturannya pun mengharuskan kita untuk memakainya. Bagaimana kalau tetap celaka juga? Celaka atau tidak adalah takdir dari Allah, itu jelas. Ada hal-hal tertentu yang berada di luar kemampuan kita untuk mengendalikannya. Maka,tugas kita adalah berusaha menyempurnakan syariat sebagai amal saleh kita. Sekali pun nanti takdirnya celaka, amal saleh itu sudah dicatat di sisi-Nya. *

“Bagi segala sesuatu ada hakikatnya Dan seorang hamba Allah tidak akan dapat mencapai hakikat iman sehingga dia mengetahui bahwa apa yang menimpanya tidak akan meleset atau terlepas darinya. Dan apa yang terlepas darinya tidak akan dapat menimpanya.”
(HR. Ahmad dan ath-Thabrani)

KH. Abdullah Gymnastiar
3 Januari 2020

Senin, 23 Desember 2019

Ringan Menerima Takdir

Saudaraku, ada perumpamaan lama. Misalkan, kita sedang berada di dalam sebuah ruangan gelap. Kemudian, tiba-tiba ada seseorang memukul dengan gulungan koran. Kira-kira apakah kita akan marah? 

Secara manusiawi tentunya akan marah. Tetapi, apakah kita tetap emosi ketika lampu dinyalakan dan ternyata yang memukul itu adalah mertua? Dia yang sudah merestui kita menikahi anaknya, ditambah bonus apartemen megah, dua mobil mewah, serta deposito lima milyar. Rasanya kecil kemungkinan orang akan marah. 

Maksudnya, terhadap orang yang berbuat baik kita jarang kecewa, walaupun kadang keinginan orang tersebut tidak sesuai dengan harapan kita. Gulungan koran tidak ada apa-apanya dibanding tumpukan uang milyaran. Itu terasa ringan dibandingkan apartemen, mobil, dan terutama restu untuk menikahi putrinya. 

Nah, itu kepada sesama makhluk. Kalau terhadap makhluk kita bisa begitu, seharusnya kita bisa lebih mampu menerima setiap takdir dari Allah. Dia yang telah menciptakan dan memberi rezeki yang tidak ternilai kepada kita sampai saat ini. 
"Tidak ada satupun musibah yang menimpa di bumi ini maupun pada dirimu, kecuali sudah tertulis di dalam kitab sebelum Kami mewujudkannya. Dan yang demikian itu mudah bagi Allah. Agar kalian tidak terlalu berduka-cita dengan apa yang Iuput darimu, dan tidak berbangga-bangga diri dengan apa yang Allah berikan padamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membangga-banggakan diri."
(QS. AI-Hadid [57]:22-23). 
Jadi, beratnya cobaan hidup, perih dan getirnya batin ini menghadapi takdir, dikarenakan kita belum yakin bahwa yang menimpakan takdir ini adalah Zat Yang Mahabaik. Dia yang selama ini selalu berbuat baik. Ketika mendapatkan ujian dan tidak menganggap ujian ini datang dengan izin dari-Nya Allah, kita pasti merasa berat. 

Orang-orang yang sering kecewa dalam menjalani hidup adalah orang-orang yang sok tahu dan lebih condong kepada nafsu. Coba lihat para sahabat Nabi SAW. Mereka sudah tidak peduli, apakah hidupnya senang atau susah, dipuji atau dicaci, sehat atau sakit. Mereka sangat paham bahwa di dalam keduanya terdapat kebaikan. 
”Boleh jadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
(QS. Al-Baqarah [2]:216). 
Jadi. apabila pernikahan kita tiba-tiba batal, yakinlah bahwa itu bukan sebuah keburukan sehingga tidak usah kecewa berkepanjangan. Kalau memang bukan jodoh, pernikahan pasti tidak akan berlangsung. Boleh jadi, Allah Ta'ala ingin mengganti dengan yang lebih baik. Jalani saja. Jika surat undangan sudah terlanjur disebar, maka tinggal membagikan surat tidak jadi diundang. 

Ingin kuliah tidak lulus ujian atau ingin mengabdi di pemerintahan tetapi tidak lolos tes CPNS, bukanlah akhir kehidupan.Yang penting niat mengikutinya benar dan itu sudah menjadi amal saleh. Siapa tahu Allah mempunyai rencana lain untuk kita. Begitu juga bagi yang sakit dan telah berobat ke mana-mana tetapi belum sembuh, ikhtiarnya sudah menjadi amal.

”Seharusnya terasa ringan bala yang menimpa kepadamu karena engkau mengetahui bahwa Allah yang menguji kamu. Maka Allah yang menimpakan kepadamu takdir-Nya itu, Dia pula yang telah biasa memberikan kepadamu sebaik-baik apa yang dipilihkan untukmu. Dialah yang membiasakan engkau merasakan sebaik-baik pilihanNya atau pun pemberiannya.” (AI-Hikam, No.115). 

Apa pun yang sudah terjadi itulah namanya takdir, Tinggal bagaimana kita menerima setiap episode kehidupan, yaitu dengan sabar dan ridha terhadap Suatu takdir akan terasa ringan ketika kita yakin bahwa dia datang atas izin dan dari Allah Yang Maha Tahu segala sesuatu, Yang Maha Baik, dan yang selama ini pun selalu berbuat baik. Dengan hati yang ridha, tetap bersemangat untuk melanjutkan perjalanan ke episode takdir yang lain. 
“Bolehjadi engkau tidak menyukai sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. ”
(QS. al-Baqarah [2]:216)

KH. Abdullah Gymnastiar
22 Desember 2019

Senin, 28 Oktober 2019

Miskin dan Bodoh

MISKIN bisa menjadikan BODOH
BODOH bisa Berujung MISKIN

Ada dua musuh besar ummat Islam yakni Kemiskinan dan Kebodohan...

Ketika kita miskin besar kemungkinan kita tidak bisa mendapatkan pendidikan dengan baik... tidak banyak kesempatan training... dan seminar-seminar berkualitas... atau mengikuti workshop-workshop keterampilan yang berbayar... akhirnya kita BODOH atau kurang skill dan kompetensi...

Ketika kurang skill dan kompetensi... alias BODOH dan KURANG TERAMPIL... kita sukar mendapatkan perkerjaan... akhirnya kita... MISKIN lagi...

Itulah lingkaran syaitan harus kita POTONG...

Islam memotongnya dengan zakat... infaq... shadaqah... wakaf... wasiat... waris... beasiswa... pemeliharaan anak yatim dan santunan dhuafa.

Sehingga si MISKIN tidak BODOH lagi...

Dan si BODOH tidak MISKIN lagi...

Maha Agung Allah dengan Syariat Nya...

Allahu Akbar...

Muhammad Syafii Antonio
27 Oktober 2019

Kamis, 26 September 2019

Merasa Banyak Dosa Atau Banyak Amal?

Seorang santri bertanya tentang ungkapan perasaan seorang hamba yang merasa banyak dosa. Hamba tersebut mengharapkan surga, akan tetapi dia merasa tidak pantas untuk mendapatkannya. Dia merasa dirinya lebih pantas di neraka, akan tetapi dia sangat tidak menginginkannya. Lalu, tambah santri tadi, hamba yang seperti itu termasuk contoh orang seperti apa?

Saudaraku, merasa banyak dosa itu sesungguhnya jauh lebih baik dibanding merasa banyak amal. Orang yang merasa banyak amal biasanya akan sombong. Lain halnya dengan orang yang merasa banyak dosa, dia akan memperbanyak tobat.

Namun demikian, penting untuk diingat, kalau kita mersa banyak dosa itu bukan berarti kita harus mengumumkan dosa-dosa yang pernah dilakukan. Pernah begini, pernah begitu, sudah melakukan ini, sudah melakukan itu, dan lainnya. Jangan! Maksudnya bukan seperti itu, bukan membuka aib diri. Nanti, kita bisa jadi kufur nikmat karena selama ini Alloh Ta'ala telah menutupi dosa dan aib kita. Tobat kita hanya kepada-Nya.

Ketika Alloh Ta'ala menyukai seorang hamba, hati hamba itu akan dibukakan oleh Alloh untuk melihat dosanya yang besar. Dia seolah-olah melihat gunung yang akan jatuh menimpanya. Dia merasa sangat terancam dengan dosanya sehingga dia sangat sedih dan banyak bertobat.

Dia pun menjadi sangat sulit untuk sombong. Dia terus berharap ampunan dan rahmat Alloh Ta'ala. Namun, terhadap orang lain, Alloh justru membukakan hati mereka untuk melihat kemuliaan amalnya. Aib dan dosanya ditutup oleh Alloh Ta'ala. Orang semacam inilah yang termasuk orang beruntung.

Berbeda dengan orang celaka, dia tidak mampu melihat atau menyadari dosanya sendiri. Dia merasa suci, mulia, dan calon ahli surga. Dia merasa saleh sendiri. Padahal, terhadap orang lain, Alloh Ta'ala membukakan hati mereka untuk melihat aib dan kekurangannya. Orang semacam ini melihat dosanya bagaikan melihat lalat yang dianggap remeh. Dia cenderung ujub dan takabur pada amalnya. Inilah bahaya terbesar dalam hidup. Dia tidak sadar kalau hidup penuh dengan dosa.

Adakah di antara saudara yang membaca tulisan ini yang merasa tidak memiliki dosa atau merasa dosanya baru sedikit? Marilah kita bertobat. Persoalan terbesar dalam hidup ini adalah ketika memiliki banyak dosa, tetapi tidak merasa terancam dan tidak pula sanggup bertobat.

"Wahai Tuhanku! aku bukanlah orang yang pantas masuk surga, tetapi aku juga tidak mampu menahan panasnya api neraka. Maka terimalah tobatku, dan ampunilah dosa-dosaku. Karena hanya Engkau-lah yang dapat memberi maaf atas dosa-dosa yang besar."

"Dosaku bagaikan bilangan pasir, terimalah tobatku wahai Tuhanku yang memiliki keagungan. Umurku ini setiap hari berkurang, sedang dosaku selalu bertambah, bagaimana aku menanggungnya."

"wahai Tuhanku, hamba-Mu yang berbuat dosa telah datang kepada-Mu dengan mengakui seluruh dosa, dan telah memohon kepada-Mu. Seandainya engkau mengampuni, memang Engkaulah yang berhak mengampuni. Jika Engkau Menolak, kepada siapa lagi aku berharap selain kepada-Mu?" (Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami)

Sumber: 

Buku Ikhtiar Meraih Ridha Alloh Jilid 1 karangan Abdullah Gymnastiar.

Senin, 23 September 2019

Sebetulnya Kesulitan itu Lebih Aman

Sangat wajar apabila orang bergembira dengan jabatan tinggi yang didudukinya, uang bayak yang dikantonginya, atau aneka kesuksesan hidup yang mengiringinya. Namun, berhati-hatilah saudaraku apabila kita tengah memiliki itu semua. Sebab, yang namanya kesenangan itu lebih bahaya daripada kesulitan.

Mengapa? 
Di dalam kesenangan, nafsu biasanya akan lebih bebas beraksi. Saat memiliki banyak uang misalnya, kita lebih leluasa untuk membeli apa saja yang kita inginkan. Sesuatu yang tidak penting dan tidak bermanfaat pun dibeli dan dipamerkan. Kita baru ingat kalau barang yang sudah di beli itu tidak bermanfaat ketika sedang kesulitan uang atau saat melihat iklan jual beli barang bekas.

Begitu pula dengan gelar, jabatan, atau kedudukan, dia bisa menjadi ujian yang melenakan. Saat sedang menjabat kita merasa penting dan mulia sehingga bisa dengan seenaknya memerintah dan memarahi orang lain. Nafsu kita merajalela di sana. Namun, ketika jabatan itu lepas, nafsu kita akan diam tidak berkutik. Andaipun setelah tidak menjabat kita masih suka mengatur dan merasa penting, kita harus segera sadar.
"Sungguh, manusia diciptakan bersifat suka mengeluh. Apabila ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta) dia jadi kikir." (QS. al-Ma'arij [70]:19-21).
Ayat-ayat berikutnya mengungkapkan pengecualian bagi orang-orang yang setia melaksanakan salat, bersedekah, meyakini adanya Hari Pembalasan dan Azab Allah, menepati janji, dan selalu berbuat baik.

Manusia diciptakan suka mengeluh. Namun, dalm menghadapi sebuah kesulitan, kita bisa curhat dan memohon pertolongan Allah, misalnya ketika salat. Kita yakin sepenuh hati bahwa hanya Allah Ta'ala yang dapat menolong karena Dialah yang menciptakan dan menggerakkan semuanya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat terjadi tanpa izin-Nya.

Kesulitan lebih mudah dijadikan jalan bertobat dan mendekatkan diri kepada-Nya daripada kesenangan. Bagaimana tidak, dalam kesenangan nafsu pun ikut menggelora. Ketika memeroleh pangkat dan jabatan atau harta, kita cenderung pelit dan lupa kepada Zat yang Maha Pemberi, apabila terhadap sesama makhluk-Nya yang semestinya kita berbagi. Kita akan beranggapan kalau semua itu merupakan hasil kerja keras sendiri.

Kita perlu meragukan ucapan diri sendiri. Misalnya ketika kita berucap, "Saya akan bersedekah tetapi nanti kalau saya sudah memperoleh untung lebih banyak." Apabila kemudian mendapat lebih, nafsu akan tetap merasa kurang.
"Tidak! Bahkan, kamu mencintai kehidupan dunia dan mengabaikan (kehidupan) akirat." (QS. al-Qiyamah [75]:20-21).
Dalam kesenangan kita mudah lupa dan bernafsu pada hal-hal duniawi daripada kehidupan akhirat yang lebih penting.

Jadi, apalah artinya kesulitan di dunia, apabila dia bisa membuat kita bertobat dan mulia di sisi Allah. Ada banyak orang yang hidup bersama kesenangan, akan tetapi dibiarkan leluasa berbuat maksiat dan dosa. Na'udzubillah.. Menurut saya, lebih baik keadaan sulit yang mengantarkan kita kepada tobat dibandingkan kesenangan yang membuat semakin jauh dari-Nya.

Hal ini tentu saja bukan berarti anjuran untuk mencari-cari kesulitan maupun kesulitan untuk sekadar pencitraan. Kesulitan yang di maksud adalah episode -episode kehidupan yang ditakdirkan Allah yang harus kita terima sambil bertobat kepada-Nya. Yakinkan diri bahwa,
"sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. asy-Syarh [94]:5-6).
Mari kita tetap berikhtiar dan berharap hanya kepada Allah Ta'ala.

"-----------------------------------------------------------------
Keluh kesah menandakan kalau kita tidak ridha dengan takdir-Nya. Padahal, bagi orang beriman setiap takdir pasti baik.

(Sumber: Buku Ikhtiar Meraih Ridha Alloh Jilid 1 karangan Abdullah Gymnastiar)

Rabu, 04 September 2019

Tahun Baru Hijriyah

Tahun baru 1441 H merupakan suatu hal yang pasti bahwa usia kita bertambah dan jatah usia kita semakin berkurang. Sudah selayaknya kita menghisab diri sebelum dihisab oleh Allah Swt.

Apakah kehidupan kita banyak diisi dengan beribadah atau bermaksiat? 
Apakah kita banyak mematuhi ajaran Allah ataukah banyak melanggar aturan Allah? 
Apakah kita ini termasuk orang yang menunaikan shalat fardlu atau malah lalai dalam menunaikan shalat fardlu?
Apakah diri kita ini termasuk golongan orang-orang yang celaka mendapat siksa neraka?

Rasulullah bersabda :
Utsman bin Hasan bin Ahmad As-Syakir mengatakan:
“Tanda-tanda orang yang akan mendapatkan kecelakaan di akherat kelak ada empat perkara:

1. Terlalu mudah melupakan dosa yang diperbuatnya, padahal dosa itu tercatat di sisi Allah. Orang yang mudah melupakan dosa ia akan malas bertobat dan mudah mengerjakan dosa kembali.

2. Selalu mengingat (dan membanggakan) atas jasanya dan amal shalihnya, padahal ia sendiri tidak yakin apakah amal tersebut diterima Allah atau tidak. Orang selalu mengingat jasanya yang sudah lewat ia akan takabur dan malas untuk berbuat kebajikan kembali di hari-hari berikutnya.

3. Selalu melihat ke atas dalam urusan dunia. Artinya ia mengagumi sukses yang dialami orang lain dan selalu berkeinginan untuk mengejar sukses orang tersebut. Sehingga hidupnya selalu merasa kekurangan.

4. Selalu melihat ke bawah dalam urusan agama. Akibat ia akan merasa puas dengan amalnya selama ini, sebab ia hanya membandingkan amalnya dengan amal orang lain di bawah dia."

Muhammad Syafii Antonio
3 September 2019

Tawadhu

Orang yang tawadhu adalah orang yang senang dalam mencari ilmu, hikmah, dan juga pengalaman. Sedangkan orang yang sombong adalah orang yang selalu mendustakan segala kebenaran yang ada.

"Dan sesungguhnya Alloh mewahyukan padaku (Rasululloh Shallallahu ‘alaihi Wa Sallam) untuk memiliki sifat tawadhu’. Janganlah seseorang menyombongkan diri (berbangga diri) dan melampaui batas pada yang lain."
(HR. Muslim No 2865)

Oleh karena itu marilah sahabat, kita miliki sikap tawadhu dalam hidup kita. Dan semoga dengan sikap tawadhu kita, Alloh mendatangkan rahmat dan juga cintanya kepada kita semua, Aamiin Ya Robbal alamin.....

KH. Abdullah Gymnastiar 
3 September 2019

Jaga Iman dan Akhlak

 Sahabatku iman yang paling baik adalah akhlak Dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Ø£َÙƒْÙ…َÙ„ُ المُؤْÙ…ِÙ†ِينَ Ø¥ِيمَانًا Ø£َØ­ْسَÙ†ُÙ‡ُÙ…ْ ...